Masri

Ada Jahat, Biar Ada Jihad

Oleh Dr Masri Sitanggang (Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI))

Jihad itu menegakkan kalimat Allah; menegekakan kebenaran, memerangi kebohongan dan keculasan; menegakkan keadilan menghancurkan kedzoliman; melakukan perbaikan menghentikan pengrusakan; memperjuangkan kemerdekan melawan penjajahan.

Boleh jadi Kalimat retorik ini menyentakkan banyak orang: “Apakah kamu kira kamu akan masuk sorga, padahal belum nyata bagi Allah bahwa kamu termasuk golongan orang yang berjihad dan golongan yang sabar ?” Menyentakkan, soalnya, selama ini banyak orang sudah merasa cukup puas dengan melaksanakan ibadah mahdoh –seperti shalat, puasa, zakat dan bahkan berulangkali naik haji serta umrah– dan dengan itu sudah merasa jadi Muslim yang baik dan berharap masuk sorga. Sementara jihad dipahami sebagai tindakan yang mirip-mirip radikalisme atau bahkan terorisme yang harus dihindari. Tetapi ternyata jihad dan sabar adalah kunci masuk sorga.

Begitulah adanya. Sorga itu milik Allah, Dia yang berhak menentukan syarat apa yang harus dipenuhi untuk bisa masuk ke dalamnya; dan syarat itu Dia umumkan di Ali Imran 142. Sangat fair. Pilihannya ada pada manusia. Mau masuk sorga ? berjihadlah dan bersabarlah dalam berjihad.

Jihad itu menegakkan kalimat Allah; menegekakan kebenaran, memerangi kebohongan dan keculasan; menegakkan keadilan menghancurkan kedzoliman; melakukan perbaikan menghentikan pengrusakan; memperjuangkan kemerdekan melawan penjajahan. Jadi, jihad itu tugas mulia, membebaskan manusia dan alam semesta dari penindasan dan penghancuran, membangun kehidupan harmonis sesama manusia dan antar manusia dengan lingkungannya.

Bagi para penguasa dzolim, pembohong dan culas yang senantiasa menindas, tentulah kata jihad merupakan sesuatu yang menakutkan. Boleh dibilang, satu-satunya kata yang ditakuti di muka bumi ini adalah jihad. Sebab, cuma jihad yang dapat mengakhiri kekuasaan ala Fir’aun. Karena itu, mereka akan melakukan apa saja agar gerakan jihad tidak muncul. Ya, apa saja. Dari mulai tindakan lembut dan halus sampai kepada tindakan keras dan super keras. Termasuk dalam tindakan lembut dan halus adalah mengotori makna jihad melalalui labelling theory (teori pelabelan) dan semantic confusion (pengacauan makna). Ujung-ujungnya akan muncul makna jihad yang jungkir baik, dari tugas mulia menjadi tindakan menjijikkan yang harus dihindari. Dengan begitu, orang tidak lagi mau berjihad atau malah memusuhi jihad.

Jadi, jihad itu adalah jalan penuh tantangan, penuh resiko. Dia bukan jalan tol yang di kanan-kirinya ditumbuhi aneka warna bunga. Dia adalah jalan licin lagi terjal di atas bebatuan dan kerikil tajam yang dipenuhi onak dan duri. Dia adalah jalan penuh rintangan yang hanya dapat dilintasi oleh orang-orang pilihan. Itulah orang-orang sabar.

Berbeda dengan itu, ibadah mahdhoh hampir tak ada rintangan. Silahkan saja shalat ke mesjid setiap saat dan shalat sepanjang malam, atau berpuasa nabi Daud atau bolak-balik Umrah. Tidak ada tantangan kecuali dari diri sendiri. Tak ada resiko. Mungkin ini pula salah satu alasan mengapa jihad orang beriman lebih tinggi nilainya dari ibadah mahdhoh itu.

Jihad itu dengan harta dan jiwa; dan harta itu adalah hartamu dan jiwa itu adalah jiwamu. Bukan harta dan jiwa orang lain. Artinya, agar perjuanganmu dinilai sebagai jihad, maka keluarkanlah harta dari kocekmu sendiri dan pertaruhkanlah jiwa ragamu sendiri.

Jangan mengharapkan kocek orang lain –sementara dari kocekmu tidak keluar padahal engkau mampu, jangan pula mengharapkan pengorbanan jiwa orang lain sementara engkau menjaga kenyamanan jiwamu. Kalau itu yang terjadi, maka itu bukanlah jihad. Apalagi kalau ternyata engkau mencari keuntungan pribadi dari “jihad” itu, maka itu lebih tepat disebut jahat ketimbang jihad: “menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” !

Mengapa Allah memerintahkan jihad itu dengan harta kamu sendiri –sekali lagi, bukan harta orang lain ? Biarlah para mufassir yang akan menjelaskan seara mendalam. Tapi setidaknya, orang awam pun bisa menangkap, ada dua hal yang mendasar. Pertama, untuk mengukur kualitas jihad seseorang (omong kasarnya : apakah seseorang benar-benar berjihad, atau sekedar ikut-ikutan agar namanya disebut orang, atau malah cari keuntungan ?). Kedua, untuk menjamin jihad itu on the track, di jalur yang tepat sehingga mencapai hasil maksimal. Jihad hanya akan berhasil maksimal bila para mujahid-nya ikhlas dan berkualitas.

Sulit membayangkan jihad akan berjalan, apalagi berhasil, bila mengandalkan harta orang lain. Yang dimaksud “orang lain” tentu saja mereka yang tidak faham makna jihad. Kalau pun orang lain itu ikut berkorban harta, justeru memunculkan pertanyaan : ada apa ?

Bambang Soesatyo, Senin (17/2) mengungkap bagaimana Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka ini lumpuh, tidak bisa bergerak dari alam mimpi ke alam nyata. Pokok soalnya adalah, partai-partai politik sebagai komponen penting negara ini dibiayai “orang lain”. Bahasa lain, dibeli oleh pemodal. Harga satu partai, semahal-mahalnya, kata Ketua MPR RI itu, cuma Rp 1 Triliun.

“Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen; jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita; dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota,” Begitu kata Bamsoet, panggilan populer ketua MPR RI itu.

Wajah Indonesia yg adil & makmur cuma ada dalam mimpi yg mungkin tdk akan terwujud jika sistem seperti skrg terus berlanjut! Click To Tweet

Maka, tengoklah bagaimana compang-campingnya wajah Indonesia saat ini jika bercermin pada pembukaan UUD 1945. Betul, wajah Indonesia yang adil dan makmur cuma ada dalam mimpi yang mungkin tidak akan terwujud jikalau sistem seperti sekarang terus berlanjut.

Mari berandai-andai. Umat Islam di Indonesia ini sekitar 87 persen. Ormas-oramas Islam cukup banyak dan hampir tidak ada seorang pun yang tidak berafliasi pada salah satu ormas. Andai jihad bi amwalikum, dengan harta kamu, ini ditanamkan dan menjadi bagian dari amal setiap muslim yang rindu sorga, akan bagaimana kekayaan umat Islam Indonesia ? Sebut saja ada 100 juta muslim yang taat dalam urusan ini dengan menyisihkan uangnya Rp 10 ribu per bulan (selain infaq dan sadaqah), maka setidaknya terkumpul dana Rp 1 triliun perbulan atau Rp 12 T setahun. Itu artinya, dalam setahun umat Islam sudah bisa kuasai 12 partai. Itu artinya, mimpi Indonesia adil dan makmur segera menyadi nyata. Dahsyat !

Ini mungkin cerita lama. Tetapi tidak kunjung terwujud. Ormas-ormas Islam –kecuali mungkin segelintir, tidak mampu menggerakkan anggota dan simpatisannya untuk berjihad dengan harta. Entah karena para pemimpinnya lalai, atau malah telah nyaman “berjihjad” dengan harta orang lain. Yang pasti, dalam tausiah dan pengjian-pengajian, sudah hampir tidak ada lagi yang membahas Bab JIHAD (mudah-mudahan bukan karena terjangkit semantic confusion). Di masa-masa Pemilu, tidak ada ormas Islam yang tegas menyerukan anggotanya mendukung partai Islam atau pemimpin Islam. Begitu pun, dalam menghadapi persoalan-persoalan krusial kebangsaan lainnya. Mungkin khawatir berdampak pada kelanjutan bantuan dana “orang lain” nantinya.

Jihad itu macam-macam bentuknya, tergantung situasi dan persoalannya. Banyak lapangannya, banyak front-nya. Ada yang sederhana, ada pula yang rumit. Ada yang ringan, ada pula yang berat. Maka, bersiaplah dan berjihadlah sesuai tantangan dan frontnya dengan prinsip, antara lain : (1). “perangilah mereka sebagaimana mereka memerangi kamu”, (2). ’Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang melampuai batas; bila musuh-musuh Allah itu tidak mau juga berhenti dan tetap melakukan fitnah serta kerusakan, maka prinsip selanjutnya adalah (3) “Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah …” (QS 8:39).

Jihad perang, tidak selamanya harus dimaknai secara fisik. Perang pemikiran, perang budaya, perang ekonomi, perang opini, perang argumentasi dan lain semacamnya bukanlah perang fisik. Perang yang demikian itu juga berat, seberat perang fisik menggunakan senjata. Bahkan, kata Rasulullah, mengatakan “tidak” pada penguasa dzolim pun adalah termasuk jihad yang besar. Makanya, banyak orang yang tidak berani mengatakan “tidak” pada penguasa dzolim, meski pun ia seorang cerdik pandai.

Tetapi jika saatnya harus perang secara fisik, maka jangan pula gunakan perang argumentasi. Ambil pedang, turun ke gelanggang. Itu bukan lagi saatnya untuk membalik-balik kitab. Itu adalah saat di mana isi kitab harus ditegakkan.

Bicara tentang jihad di lapangan politik, jihad konstitusional –dengan kondisi partai-partai seperti yang diungkapkan Bamsoet, sulit mengharapkan hasil. Bahkan dampaknya akan sangat mengerikan. Negeri ini akan terus meluncur menjauhi cita-cita kemerdekaan. Inlander yang dulu berjuang untuk melepaskan diri dari keterjajahan, tetap akan menikmati mimpi yang tak berkesudahan.

Keberadaan penjahat memang diperlukan untuk lahirnya pejihad Click To Tweet

Tetapi, ada yang harus diingat, keberadaan penjahat memang diperlukan untuk lahirnya pejihad. Sebab tidak mungkin ada jihad kalau tidak ada penjahatnya. Maka, dengan keadaan buruk sekarang ini, sesungguh Allah sedang mempersiapkan lapangan jihad, supaya dengan begitu ada yang masuk sorga. Artinya lagi, boleh jadi ini bagian dari rencana Allah yang akan mengganti genarasi yang telah murtad dengan generasi yang dicintai Allah –yakni genarasi yang mencintai Allah, lemah lembut sesama oirang beriman dan tegas terhadap orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan orang-orang. Simaklah Alqur’an surah 5 ayat 54. Tinggal sekarang, tepuk dada tanya iman: maukah masuk sorga ?

Maka, gagasan untuk melahirkan kembali Partai Masyumi saat ini menemukan momennya. Inilah saatnya umat Islam memiliki partai yang sejak dini harus dijaga untuk tidak terkontaminasi dengan keadaan. Partai ini harus dilahirkan bersama oleh Umat Islam, menjadi milik umat Islam dan berada di tengah-tengah persoalan umat Islam.

Paradigma para politisi partai baru itu harus dirubah. Mereka bukan cari makan di partai, melainkan berjihad dengan harta dan jiwa untuk kemaslahatan umat. Paradigma umat Islam, tertuama pimpinan Ormas Islam, juga harus dirubah. Mereka harus aktif mengarahkan umat untuk membesarkan partai itu dan mengucapkan selamat tinggal kepada partai sekuler dan partai yang telah nyata membawa kemudhoratan. Jangan mengharap imbalan materi dari partai, tetapi sebaliknya melalui ormas arahkanlah anggota memberikan hartanya untuk jihad di lapangan politik melalui partai baru ini.

Cuma itu yang bisa dilakukan saat ini di lapangan politik. Beraharap pada partai yang lama yang telah terlilit ketat oleh gurita raksasa, tak lebih seperti pekerjaan menggantang asap.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Komisi di MUI Medan; Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI) dan Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI).