Ekonom Senior Indef, Bustanul Arifin (Kemeja Batik, kedua dri kiri) pada seminar Tengah Tahun Indef 2017 bertajuk "Mengurai Solusi Ketimpangan" di IPMI International School, Jakarta, Rabu (19/7). foto:MySharing.

Indef: Peningkatan Dana Justru Memperburuk Ketimpangan

Peningkatan dana perimbangan  tidak diikuti dengan perbaikan jurang ketimpangan. Indeks gini pun naik menjadi 0,37 persen.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),  Enny Sri Hartati mengatakan, peningkatan dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, belum dibarengi dengan perbaikan ketimpangan ekonomi yang kian meninggi.”Peningkatan transfer dana perimbangan justru memperburuk ketimpangan,” ujar Enny, dalam seminar nasional tengah tahun Indef 2017 bertajuk “Mengurai Solusi Ketimpangan” di IPMI International School, Jakarta, Rabu (19/7).

Enny mengungkapkan, pada tahun 2000, dana perimbangan untuk seluruh provinsi mencapai Rp 29,9 triliun. Dan,  di tahun yang sama, indeks gini masih berada di angka 0,3 persen. Satu dekade kemudian, dana perimbangan melonjak hingga 830 persen mencapai Rp278,7 triliun di tahun 2009.

“Peningkatan drastis tersebut, ternyata tidak diikuti dengan perbaikan jurang ketimpangan, karena indeks gini malah naik menjadi 0,37 persen. Ketimpangan pun semakin memburuk mencapai titik tertingginya sebesar 0,41, meski dana perimbangan telah digelontorkan Rp316,7 triliun pada 2011,” ungkap Enny.

Bahkan, lanjut dia, dengan bertambahnya dana perimbangan hingga lebih dari 150 persen dari tahun 2011 menjadi Rp 795,4 triliun di 2016, indeks gini hanya turun tipis 0,39 persen. Ketimpangan fiskal ini menurut Enny,  bisa dilihat dari bagaimana efektivitas dana transfer daerah. “Jika kita bandingkan pasca dan sebelum otonomi daerah. Setelah otonomi daerah, ternyata indeks gini secara umum meningkat,” tandasnya.

Upaya formalisasi desentralisasi urusan keuangan daerah, dimulai sejak disahkannya UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada perkembangannya, kata Enny, regulasi itu pun disempurnakan sehingga lahir UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang memberikan kewenangan atau otonomi bagi pemerintah daerah untuk secara luas dan bertanggung jawab membangun daerahnya dengan kemampuan fiskal masing-masing.

Enny menegaskan, bahwa otonomi daerah ini sebagai capaian luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pasca Orde Baru (Orba) harus dimanfaatkan dan dioptimalkan sebaik mungkin.”Apabila tidak, Indonesia akan kehilangan momentum untuk mencapai perbaikan ekonomi nasional, terutama permasalahan ketimpangan,” pungkas Enny.