Masyarakat Sipil Kian Mendesak RUU BPIP Dicabut

Aliansi Pendukung-Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (AP-KAMI) menyatakan dukungannya kepada para tokoh di KAMI.

Gabungan organisasi masyarakat dan aktivis menyatakan dukungannya kepada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera merealisasikan masirah kubro dan menunjuk panglimanya.

Hal ini dinyatakan oleh puluhan ormas secara bersamaan di Aula Utama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta Pusat, Jumat (14/8). Puluhan ormas yang bergabung dengan nama Aliansi Pendukung Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (AP-KAMI).

“Bahwa AP-KAMI  mendukung dan mengawal secara penuh program, kegiatan dan sikap KAMI dan komponen rakyat lainnya dalam upaya mengkritisi dan mengoreksi kinerja rezim, supaya bersikap  dan bertindak secara konstitusional demi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan hukum masyarakat “, kata Presidium AP-KAMI, Djudju Purwantoro, SH.

Ia menambahkan, bahwa AP-KAMI menolak sistim oligarki yang diterapkan oleh rezim, dan tetap konsisten meminta kepada Presiden dan DPR untuk dengan tegas  mencabut RUU BPIP .

Dalam kesempatan yang sama, AP- KAMI mendorong dan mengajak seluruh komponen bangsa dan elemen masyarakat untuk bersatu padu dan bangkit melawan bentuk tirani apapun, salah urus negara, pelanggaran hukum dan kedzoliman kepada rakyatnya .

“Bahwa AP-KAMI memohon kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan penuh hormat, segera menyerukan pelaksanaan masiroh kubro dan panglimanya guna melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar demi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan penegakkan hukum masyarakat”, kata Djuju menegaskan.

Sebagai aliansi dari elemen dan Organisasi Masyarakat yang tergabung dalam lintas Ormas dan LSM, turut merasakan keprihatinan dan kekecewaan mendalam atas situasi dan kondisi bangsa dan negara saat ini.

Menurut Djuju yang juga pengacara senior ini, persoalan bangsa dan rakyat Indonesia saat ini, tidak sedang baik- baik saja. Justru faktanya adalah kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan  penegakkan hukum masyarakat yang terus saja mengalami degradasi dan terjun bebas menuju jurang kerusakan dan kehancuran.  Kondisi tersebut, sesungguhnya masih jauh dari cita- cita sebagai negara yang makmur, sejahtera (social welfare state), dan masih hanya  mimpi sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat). Bisa kita saksikan secara kasat mata dan mencolok sekarang ini jarak perbedaan antara golongan minoritas yaitu penduduk yang berstatus kaya raya dan mayoritas rakyat yang masih  bergumul dengan pola hidup dalam kemiskinan.

AP-KAMI menilai adanya kesamaan cara pandang dan cita-cita progresif positif dengan kelompok KAMI, dalam upaya menghadapi persoalan sosial, ekonomi dan hukum yang sedang terjadi pada bangsa ini.

Oleh karenanya, upaya kontrol, kritik ataupun pengawasan (watch dog) , secara terus menerus dan serius harus dilakukan masyarakat.

Kontrol kritis secara stelsel aktif oleh masyarakat (pressure group) harus tetap dilakukan dalam koridor legal dan konstitusional. Kuatnya sistim tirani dan otoriter Presiden kepada institusi negara baik kepada legislatif, yudikatif maupun lembaga negara lainnya, berakibat terpasungnya peran dan fungsi organ- organ kenegaraan tersebut.

Masih mewabahnya pandemi Covid-19, yang belum juga menunjukkan trend yang menurun, juga turut berdampak negatif karens menghujam sendi- sendi kehidupan ekonomi negara dan rakyatnya. Dibutuhkan model kepemimpinan nasional yg kuat dan berintegritas dalam menangani dampak negatif Covid-19. Faktanya, rezim tergagap dan bisa dikatakan amburadul (inkompetensi) menghadapi krisis pandemi dalam penanggulangan, perawatan pasien terpapar dan dampak negatif (terpuruknya) pertumbuhan ekonomi nasional.

Terjadinya perkosaan ( fungsi kontrol dan budgeting) oleh DPR RI, dengan tetap diberlakukannya Perpu No.1/2020 tent Covid 19 menjadi UU No.2/2020 patut diduga adanya konspirasi elit yang tidak terbantahkan. Terjadinya demo besar-besaran atas penolakan ditetapkannya Perpu a quo menjadi UU No.2/2020, jelas sangat menciderai perasaan keadilan masyarakat.

Secara permisif UU No.2/2020 memberikan kelonggaran (penyelundupan hukum) karena alasan pandemi Corona bisa melewati ambang batas defisit anggaran sampai lebih minus 5percen. Keanehan lainnya, jika terjadi pelanggaran hukum (korupsi), rezim tidak bisa dijatuhkan sangsi (dituntut) baik secara perdata maupun pidana.

Padahal anggaran penanganan Covid-19 yg bernilai ratusan triliun, porsi mayoritasnya adalah diperuntukkan bagi pemulihan ekonomi dan sumber dananya dengan mengandalkan hutang luar negeri. Potensi terjadinya korupsi besar-besaran akibat klausul tidak lazim tersebut sangat mungkin terjadi, tanpa pengawasan dan penegakkan hukum ketat, karena peran KPK melalui revisi UU.nya juga sudah dimandulkan.

Dibidang politik dan hukum, masih marak terjadi diskriminasi hukum dan kriminalisasi terutama kepada pihak oposisi yang kritis kepada rezim, juga maraknya penghinaan atas agama islam. Sementara itu terjadi kondisi sebaliknya, dan kontroversi jika kasus hukum menimpa pihak yang dekat dengan rezim. Para pihak tersebut tampak kebal hukum dan sangat sulit tersentuh atau diproses hukum (due process of law).

Indikasi atas bangkitnya ideologi Komunis, juga tampak adanya pembiaran dan lemahnya penegakkan hukum oleh aparat hukum. Padahal Tap MPRS XXV/1966, masih berlaku dan secara tegas melarang timbulnya atau eksistensi paham komunisme, marxisme dan leninisme di Indonesia. Kondisi tersebut terbukti dengan belum dicabutnya RUU HIP yang berbau komunis, kemudian malah bermutasi menjadi RUU BPIP. Walaupun berdampak adanya unjuk rasa besar-besaran dari rakyat, tapi belum juga tampak niat pihak pemerintah dan legislatif untuk mencabutnya.