
Karena pemuda adalah harapan bangsa, ulama pun mendorong pemuda Islam untuk lebih berani memimpin bangsa ini.
Syaikh Mushthafa al-Ghalayaini dalam kitab ‘Izhatun Nasyi’in mengatakan, inna fi yadi al-syubban amral ummah wa fi iqdamihim hayataha. “Sesungguhnya di tangan generasi muda-lah, nasib bangsa ini bergantung; dan melalui keberanian mereka-lah keberlangsungannya terjamin. Sebab hanya pemuda sajalah yang dipenuhi jiwa optimis, percaya diri dan cita-cita. Jika keraguan, ketakutan dan keputusasaan telah mewabah dalam diri seluruh generasi muda, maka Indonesia akan menjadi negara terbesar yang dipenuhi oleh generasi tua.” Ujar Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH Ketua Majelis Riset dan Pengembangan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia dalam siaran persnya, Jumat, (27/10).
MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) menyelenggarakan tablig akbar tentang kepemudanaan dengan mengangkat tema “ Pemuda Bersama Ulama Dalam Membangun Peradaban” di Masjid Sunda Kelapa. Jumat, (27/10).
Di tangan generasi muda-lah, nasib bangsa ini bergantung Click To TweetBangsa yang berindentitas adalah bangsa yang membina generasi mudanya agar tidak terputus dari silsilah mata rantai nilai dan peradaban yang telah dibangun oleh generasi pendahulu (salafussoleh).
Generasi muda berkualitas akan terbentuk jika mereka dibekali dengan pemahaman ilmu secara benar dan integral. Sebab dengan ini, akan tercipta manusia-manusia penggerak perubahan dan pembangun peradaban.
Dampak Penjajajahan Belanda
Henri Shalahuddin menambahkan, dampak terburuk dari sejarah penjajahan Belanda selama 350 tahun adalah tertanamnya sikap minder dan rendahnya semangat bersaing secara sehat. Kepada bangsa Indonesia dimasukkan perasaan bahwa mereka “tidak bisa apa-apa”. Tidak bisa pintar sepintar Belanda. Tidak bisa kaya, sekaya Belanda. Tidak bisa naik pangkat setinggi pangkat Belanda. Kepada dunia senantiasa dinyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah “Bangsa yang sesabar-sabarnya di dunia”, sebagaimana dikatakan oleh Buya HAMKA.
Untuk menanamkan ini semua dilakukan melalui siasat pendidikan. Pendidikan yang dibuat Belanda bertujuan mencetak segolongan bhumi putera agar dapat berpikir cara Belanda. Bahkan cara bermimpi pun, sebisa mungkin agar meniru cara mimpinya orang Belanda. Jika ingin maju, mereka harus melonggarkan ikatan agamanya.
“Hal-hal seperti ini menurut Buya HAMKA dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, memilih pakaian yang sebenarnya bukan pakaiannya, kemudian melupakan jati dirinya dan mencampakkan pakaiannya sendiri.” Tambahnya.
Belajar dari Jenderal Soedirman
Dengan memantapkan jati diri sebagai bangsa Indonesia dan berpegang teguh dengan identitas keislamannya, para pahlawan kita berhasil mengakhiri penjajahan selama 3,5 abad. Di antara mata rantai keberanian, keteguhan dan kecemerlangan yang bisa kita teladani dari para pahlawan muda dan pendahulu kita adalah Jenderal Soedirman, Bung Tomo dan para ulama muda yang sukses mendirikan lembaga pendidikan untuk membangun bangsa yang beridentitas di usia 25 tahun hingga 16 tahun, seperti para pendiri Pondok Gontor dan pondok-pondok lainnya.
Dalam usia 20 tahun, Jenderal Soedirman telah menjadi guru dan kemudian menjadi kepala sekolah Muhammadiyah. Di usia 21 tahun, beliau menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah, dan diangkat menjadi panglima besar saat beliau berusia 29 tahun
Bung Tomo memimpin pertempuran melawan tentara sekutu dalam usia 25 tahun. Dalam pidatonya yang sangat heroik yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan takbir, beliau berkata: “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Harapan Ada di Tangan Pemuda
“Oleh karena itu, dalam rangka menyambut hari Sumpah Pemuda, marilah kita bersama membekali generasi muda dengan beragam keterampilan dan keilmuan yang dilandasi nilai-nilai keagamaan sehingga mampu melakukan kerja-kerja peradaban dan pemakmuran bumi yang sama-sama kita cintai dan menjadi tanah tumpah darah kita semua.” Ujarnya.
Dengan demikian kita sebagai bangsa Indonesia bisa berdiri kokoh di atas kaki sendiri, dan menjadi tuan di negeri sendiri. Inilah di antara salah satu cita-cita salah satu pahlawan nasional kita, KH. Agus Salim yang dituangkan dalam tulisan beliau di harian “Neratja”, 25 September 1917, yang berjudul: “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”.
Di tangan pemuda-lah kita menaruh harapan; kepada Ilahi kita panjatkan segala doa dan permohonan. Habis akal baru tawakal, begitu ajaran para pendahulu kita.