
Praktisi ekonomi syariah – Dr. Beny Witjaksono belum lama ini memaparkan penelitiannya tentang wakaf dalam sebuah seminar di Jakarta.
Beny dalam makalahnya yang berjudul “Analisis Intensi Masyarakat Berwakaf Uang di Perbankan Syariah Menggunakan Theory of Planned Behaviour” memberikan beberapa rekomendasi strategis untuk kemajuan pengembangan wakaf di tanah air.
Menurut Beny, institusi atau lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan wakaf, dan masyarakat luas harus secara optimal meningkatkan pengetahuan dan intensi masyarakat mengenai wakaf uang, sehingga dapat meningkatkan realisasi wakaf uang.
“Institusi tersebut adalah dari Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, OJK, perbankan syariah dan para nazhir yang berada di masyarakat. Diperlukan kampanye wakaf secara nasional yang diikuti dengan pemberian insentif bagi pewakaf sehingga merangsang masyarakat semakin kenal, tertarik dan berlomba-lomba berwakaf,” harap Beny.
Karena itu, lanjut Benny, diperlukan kegiatan-kegiatan dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai wakaf oleh perbankan syariah dengan mengundang unsur-unsur masyarakat baik dari akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
“Disamping itu Bank Syariah bersama nazhir wakaf profesional membuat produk-produk penghimpunan dana wakaf yang kreatif dan menarik serta upaya pemasaran yang optimal,” lanjut Beny.
Menurut Beny, pengelola wakaf, khususnya wakaf uang, harus oleh nazhir yang profesional dan memahami keuangan khususnya keuangan syariah. Sehingga nazhir yang sesuai dengan indikator tersebut adalah perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah.
“Namun, Undang-Undang wakaf belum mencantumkan bahwa lembaga keuangan syariah bisa menjadi nazhir, sehingga perlu ada amandemen pasal 10 butir 3 UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, sehingga legalitas perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah menjadi nazhir dapat terpenuhi,” usul Beny.
Beny juga menyampaikan usulannya, bahwa dalam upaya mengoptimalkan peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai regulator perwakaf-an di Indonesia, maka perlu ditinjau kembali pasal 49 butir (1) a. dengan butir (1) b. UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara regulator dan pelaku nazhir. Kondisi ini yang membuat BWI kurang produktif.
“Disamping itu, untuk mengundang semakin banyaknya nazhir profesional yang bergabung untuk mengelola wakaf, diperlukan imbalan yang lebih menarik. Oleh karenanya pasal 12 UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf harus diamandemen, imbalan nazhir yang semula 10% menjadi minimal 15% dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf,” ungkap Dr. Beny Witjaksono.