“MLM Syariah Jangan Mengikuti Sistem Kapitalis”

Godo Tjahyono
Godo Tjahyono, Pakar Marketing

Pakar marketing syariah – Godo Tjahjono, yang juga pemerhati ekonomi Islam, saat ini memang sedang tidak berada di Indonesia. Pria yang pernah memenangkan dua kali Young Marketer Award dari Mark Plus ini saat ini tengah mengejar gelar doktor di University of Western Sydney, Australia. Namun meski berada jauh di negeri orang, Godo masih tetap concern mengamati perkembangan  ekonomi dan bisnis syariah di tanah air. Karena itu, saat dihubungi Sharing untuk menjadi nara sumber dalam Laporan Utama Majalah Sharing tentang MLM Syariah, Godo meresponnya dengan antusias. Godo pun dengan lugas menuangkan pemikirannya guna mengkritisi bisnis MLM syariah di tanah air. Berikut wawancara lengkap Sharing via surel dengan Godo Tjahjono.

Sekarang ini di Indonesia mulai banyak perusahaan MLM yang mengusung Label Syariah. Seberapa besar dampak label syariah di perusahaan MLM Syariah dari sisi marketing?

Kata “syariah” yang disematkan setelah produk atau cara menjual, umumnya ditujukan untuk menyasar Muslim sebagai target market, dan tentunya produk yang dijual harus halal secara zat atau content-nya.  Muslim Indonesia yang memiliki concern terhadap kehalalan produk dan cara transaksinya bisa jadi akan menjadi tertarik dengan kata “syariah” yang disematkan tersebut.  Namun demikian perlu dikaji apakah produk dan cara menjualnya sesuai dengan tujuan ekonomi Islam itu sendiri.

Bentuk marketing seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan MLM Syariah?  Karena masih ada banyak anggapan di masyarakat, bahwa MLM Syariah itu relatif sama saja dengan MLM Konvensional.

Saya menganggap sistem multi-layer di mana penjual di layer paling atas mendapatkan bagian keuntungan dari lebih dari satu layer di bawahnya, akan menciptakan piramida yang tidak sejalan dengan tujuan social justice itu sendiri.  Hubungan antara penjual pertama dengan agen atau distributor kedua dibawahnya adalah jual beli. Distributor kedua melakukan jual beli juga dengan agen atau distributor ketiga, maka seharusnya tidak perlu ada bagian keuntungan bagi penjual pertama dari penjualan yang dilakukan oleh agen ketiga, karena transaksi agen kedua dan ketiga tidak melibatkan penjual pertama.

Bentuk sistem distribusinya bisa flat atau berlapis dengan bagian keuntungan hanya ada diantara mereka yang bertransaksi.  Tidak membentuk pembagian keuntungan yang berbentuk piramida, di mana layer paling atas masih mendapatkan bagian dari upaya penjualan yang sudah tidak melibatkan dirinya dalam akad.  Sehingga harga produk akan lebih murah dan keuntungan agar lebih terbagi merata diantara mereka terlibat.

Kalaupun penjual pertama harus melibatkan diri hingga ke layer ketiga misalnya, maka bentuknya bukan pembagian keuntungan dari produk, melainkan fixed fee yang harus dibayar oleh layer ketiga misalnya atas support yang diberikan di mana bentuknya tidak variabel namun one-off.

Berarti di dalam pemakaian sistem jaringan marketingnya harus benar-benar dikaji prinsip keadilannya?

Intinya begini, kita bisa mengembangkan sistem distribusi yang berlapis dan efisien baik dari sisi penjual maupun konsumen.  Namun kembali lagi apakah kita akan menciptakan segelintir orang yang sangat kaya di atas sekian layer dibawahnya dengan memberikan bagian keuntungan terus menerus dari penjualan setiap layer, atau menciptakan sistem yang membuat harga produk lebih terjangkau di mana keuntungan hanya ada pada penjual yang bertransaksi saja (dengan penjual berikutnya atau konsumen akhir), sehingga sistemnya menjadi lebih flat namun diikuti banyak orang seperti bentuk koperasi, atau cukup berlapis namun tetap tidak ada pembagian margin bagi penjual atau distributor diatasnya, dimana penjual yang berada di bawah naungan distributor tertentu bisa dikenakan fee yang sifatnya one-off.

Tolong dipikirkan kembali mengenai tujuan social justice yang ingin dicapai dengan adanya ekonomi Islam, di mana kesejahteraan ummat membaik secara keseluruhan/makro dari sisi produsen dan konsumen. Kalau ujung-ujungnya hanya menciptakan segelintir orang kaya di bagian atas piramida dan membuat harga produk menjulang dari COGS-nya demi memberikan bagian keuntungan bagi setiap layer yang tidak lagi terlibat dalam transaksi, maka tidak ada bedanya dengan prinsip kapitalisme, kecuali produknya dipastikan halal dan akad-nya direkayasa agar comply dengan kata “syariah”.