Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menemukan fenomena yang mengkhawatirkan dimana 7,8 juta perokok miskin terkonfirmasi pernah mengalami kerawanan pangan, dari derajat ringan hingga parah.
Kerawanan pangan ringan terkonfirmasi di 5,6 juta perokok yang mengaku pernah tidak bisa makan makanan sehat dan bergizi karena kekurangan uang. Kerawanan pangan menengah, dimana individu pernah mengalami kehabisan persediaan pangan, terkonfirmasi di 1,6 juta perokok.
“Bahkan, kerawanan pangan parah juga terkonfirmasi dimana individu telah mulai mengalami kondisi kelaparan. Sebesar 640 ribu perokok pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak memiliki uang,” ungkap Fajri Azhari, Peneliti IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), Selasa (31/05/2022).
Dengan laki-laki pada umumnya berposisi sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah, perokok akan mempertahankan pengeluaran rokok-nya meski kondisi ekonomi menurun. Dengan sifat adiktif-nya, rokok telah menjadi “kebutuhan dasar” rumah tangga perokok, setara dengan kebutuhan pangan.
- CIMB Niaga Dukung Pertumbuhan Bisnis Nasabah di Malang dan Jember melalui Ngobiz
- Bank Muamalat dan BPKH Kerja Sama Layanan Kustodian Syariah
- Generali Indonesia Lindungi Pelari Bank Jateng Borobudur Marathon 2024, Konsisten Wujudkan Sustainable Lifestyle
- Asuransi BRI Life dan KPK Perkuat Komitmen Bersama Berantas Korupsi lewat Literasi di Hakordia
“Fakta ini membawa petunjuk yang jelas yaitu mengorbankan gizi keluarga demi terus merokok adalah umum ditemui di keluarga perokok miskin. Prevalensi malnutrisi kuat diduga sangat tinggi di keluarga perokok,” ucap Fajri.
Fajri menambahkan, bahwa dengan kendala anggaran yang lebih terbatas di masa pandemi, perokok berusaha mencari keseimbangan baru. Berkurangnya penghasilan di masa pandemi tidak selalu berimplikasi turunnya konsumsi rokok, terlebih berhenti merokok.
“Berpindah ke rokok murah menjadi strategi umum yang mengizinkan perokok mempertahankan kuantitas konsumsi-nya dengan pengeluaran yang lebih rendah atau meningkatkan kuantitas konsumsi-nya dengan pengeluaran yang sama,” ujar Fajri.
Lebih dari itu menurut Fajri hubungan interpersonal, terutama keluarga dan pertemanan, mengizinkan seseorang dapat terus merokok tanpa penghasilan sama sekali, yaitu mengharapkan rokok pemberian dari orang lain.
“Pada 2021, terdapat 7,3 juta perokok yang tidak bekerja, namun estimasi pengeluaran untuk rokok mencapai Rp 6,8 triliun per tahun,” tutur Fajri.
Daerah terbesar dengan perokok yang tidak bekerja ini adalah daerah padat penduduk yang juga merupakan kantong kemiskinan nasional, seperti Kab. Bogor, Kab. Bandung, Kab, Cianjur dan Kab. Garut.
Melihat fenomena yang terjadi, Fajri menyarankan agar setiap upaya ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan yang kredibel baik oleh Lembaga Pemerintah maupun NGO harus mengikutsertakan indikator penanggulangan perilaku merokok.
“Menanggulangi rokok dengan hanya mengandalkan instrument fiskal tidak akan memadai. Menaikkan cukai dan harga rokok memiliki potensi menurunkan konsumsi rokok, terutama bagi perokok miskin, perokok tidak tetap dan perokok pemula. Namun di sisi lain, konsumsi rokok tidak turun begitu saja secara signifikan karena rokok merupakan produk adiktif,” tutup Fajri.[]