bagi hasil bank syariah

Bagi Hasil Bank Syariah pada Produk Deposito

Sistem ekonomi syariah tidak jauh-jauh amat dengan sistem mainstream, atau yang juga suka disebut sistem ekonomi konvensional. Disebut mainstream, karena sebagian besar peradaban di dunia memakai sistem ini.

bukopin syariahSalah satu yang kerap dianggap pembeda dengan sistem ekonomi mainstream, ekonomi syariah populer dengan prinsip bagi hasilnya. Sekitar 20 tahun lalu di Tanah Air, bank syariah yang saat itu masih satu saja, sering juga disebut bank bagi hasil, bukan bank syariah.

Prinsip bagi hasil bank syariah memiliki akar jauh ke peradaban Arab di abad 6 Masehi. Saat itu, seorang lelaki pedagang bernama Muhammad bin Abdullah menjualkan barang-barang milik saudagar-saudagar Mekkah dengan sistem bagi hasil. Muhammad sering tidak memiliki modal harga, melainkan tenaga. Karena Beliau berdagang dengan jujur, banyak saudagar Mekah yang memercayakan dagangann kepadanya. Salah satunya adalah Siti Khodijah yang belakangan menjadi istri Beliau.

Muhammad tidak berdagang sendirian, berangkat dengan karavan ke negeri-negeri Arab lainnya bersama pedagang lain. Tidak jarang di antara mereka berkongsi. Pun dengan para saudagar Mekah yang memercayakan dagangan kepada para pedagang ini, kerap berkongsi di antara mereka sendiri untuk penyediaan modal dan barangnya. Jadi, praktik perkongsian sudah lazim di masyarakat Arab saat itu.

Usaha Komersial Bersama
Karena kebanyakan hanya memberikan modal tenaga, Muhammad dan pedagang lainnya mendapat bagi hasil dari keuntungan penjualan. Tentu dengan kesepakatan di awal mengenai pembagiannya. Ada beberapa variasi perkongsian dan bagi hasil yang di praktik modern kini, diterjemahkan dalam berbagai bentuk skema bagi hasil dalam sistem ekonomi syariah. Yang populer adalah Mudharabah dan Musyarakah.

Secara sederhana, Mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih, di mana salah satu pihak menjadi pemodalnya (shahibul maal) dan pihak lain menjadi pengusahanya (mudharib). Perhitungan bagi hasil dan tanggung jawab, termasuk jika rugi, diatur dalam kesepakatan di awal.

Namun, pada dasarnya sistem bagi hasil berdasar pada prinsip kerjasama yang menjunjung keadilan, apakah itu Mudharabah atau Musyarakah. Ekonomi syariah modern sendiri kerap memisahkan Mudharabah dan Musyarakah, terutama ketika di ranah skema keuangan syariah yang diterapkan pada produk bank syariah. Padahal, Mudharabah sejatinya bagian dari Musyarakah. Musyarakah berakar pada konsep syirkah yang berarti “mencampur”. Dalam dunia bisnis, yang dicampur bisa modal, tenaga, atau keahlian dari satu atau lebih pihak untuk menjalankan suatu usaha.

Syirkah, Syarikat, Serikat
Bahasa Melayu pun menyerap syarikat sedangkan bahasa Indonesia, serikat dari kata syirkah ini untuk merepresentasikan konsep ‘usaha komersial bersama ’. Istilah yang sepadan dengan kongsi (berasal dari hanzi: Hokkian) atau perusahaan (berasal dari vennotschap: Belanda).

Salah satu bentuk syirkah, ya itu Mudharabah tadi. Pada aplikasinya di produk bank syariah, Mudharabah biasa diterapkan pada pembiayaan dan tabungan investasi (deposito) sedangkan Musyarakah umumnya hanya pada produk pembiayaan.

Bagi hasil bank syariah adalah berbeda dengan bunga pada bank konvensional. Karena berdasarkan ‘usaha komersial bersama’, untung rugi ditanggung bersama. Lagi-lagi, ‘usaha komersial bersama’ ini membawa konsekuensi pemahaman yang berbeda dengan bank konvensional. Deposan di bank syariah sejatinya adalah mitra syirkah, bukan sekadar penabung. Deposan memercayakan dananya kepada bank syariah untuk dikelola agar memeroleh keuntungan yang lantas dibagi bersama sesuai kesepakatan. Pengelolaannya dalam bentuk usaha, misal pembiayaan modal kerja kepada usaha kecil dan menengah (UKM) yang di industri perbankan syariah Indonesia selalu di atas 60% porsi penyalurannya oleh bank. Dalam istilah perbankan, intermediasi keuangan.

Bunga dalam bank konvensional tidak beroperasi berdasarkan untung rugi ditanggung bersama. Deposan diperjanjikan persentase tertentu sebagai imbal hasil dan peminjam diwajibkan membayar cicilan dengan tambahan persentase tertentu. Persentase itu ditetapkan sepihak oleh bank, tidak berdasar kesepakatan antara bank dan deposan atau antara bank dengan peminjam. Meskipun, pada praktiknya dapat dinegosiasikan tetapi ini sangat berbeda dengan bag hasil. Mengapa? Berikut ilustrasi sederhananya.

Ilustrasi Bunga dan Bagi Hasil
Surya memiliki deposito 1 bulan di bank syariah sebesar Rp 100 Juta dan Rp 100 Juta di bank konvensional. Mari ambil contoh perhitungan bagi hasil Bank Muamalat, salah satu bank syariah di  Indonesia. Perhitungan ini global saja untuk memudahkan memahami pola kerja bagi hasil bank syariah. Dengan rumus HI-1000 = Rp. 10,93 atau hasil investasi per Rp1000 dana nasabah mendapat keuntungan Rp. 10,93, Surya berhak atas bagi hasil Rp.54,650. Bagaimana ini terjadi?

HI-1000 = Rp. 10,93 (per November 2013). Ini adalah keuntungan bersih yang dihasilkan bank dari mengusahakan per Rp. 1000 dana nasabah. Nilainya fluktuatif, tergantung banyak hal, namun yang utama adalah kondisi usaha yang dibiayai bank syariah, misal UMKM. Jadi, kalau rata-rata UMKM yang dibiayai bank syariah sedang bagus usahanya, keuntungan untuk bank syariah yang berinvestasi kepadanya pun bagus. Pun sebaliknya. Ini terjadi karena sistem bagi hasil juga. Bank syariah membiayai sebuah usaha, misalnya UMKM, dengan pola bagi hasil bank syariah.

Nisbah bagi hasil untuk deposito 1 bulan= 50:50. Nisbah atau bagian atau persentase untuk memudahkannya.

(Rp.100 Juta : Rp.1000) X (Rp.10,93 X 50%) = Rp. 546,500

Di lain bulan, jika HI-1000 tidak sebesar itu, bagi hasil untuk Surya juga tidak sebesar itu, pun sebaliknya.

Mari lihat ilustrasi bunga bank konvensional. Menggunakan rumus umum perhitungan bunga deposito maka Surya akan mendapat bunga Rp. 452,054. Bagaimana ini terjadi? Bunga deposito 1 bulan = 5,5% per tahun (contoh dari Bank BNI bulan Mei 2014). Berarti rumusnya:

(Rp.100 Juta X 30 hari) X (5,5% : 365 hari) = Rp. 452,054.

Pun dengan pembiayaan. Bunga di bank konvensional ditetapkan sepihak, artinya apapun kondisi usaha nasabah yang dibiayai bank, nasabah itu harus membayar bunga senilai X%. Pun dengan banknya, apapun kondisinya, bank harus membayar bunga kepada deposan sebesar X%. Tidak ada variabel fluktuatif seperti dalam sistem bagi hasil yang oleh Bank Muamalat Indonesia, misalnya disimplifikasi dalam rumus HI=1000 itu. Bank syariah lain memiliki rumusnya masing-masing.

Mudharabah dalam praktik modern ekonomi syariah disebut juga investasi berisiko. Ya itu tadi, tergantung kondisi banknya, banknya tergantung kondisi nasabah yang dibiayainya. Simpelnya, jika nasabah, misalnya UMKM yang dibiayai bank syariah maju semua usahanya, bank syariah ikut maju, deposan pun memeroleh bagi hasil lebih besar. Pun sebaliknya. Lebih berisiko dari berinvestasi di bank konvensional? Atau, malah lebih adil?

Perhitungan bagi hasil bank syariah ini hanya berlaku bagi nasabah produk bank syariah berskema Mudharabah misalnya deposito atau tabungan. Misalnya Anda nasabah tabungan atau giro berskema wadiah, bank tidak berkewajiban memberikan bagi hasil. Namun, dapat memberikan bonus. Jika menggunakan skema wadiah, dana deposan dianggap sebagai titipan oleh bank syariah, bukan dana investasi. Karena itulah, bank syariah tidak berkewajiban memberikan imbal hasil untuk dana titipan tersebut.

Ke mana bank syariah menginvestasikan dana nasabah? Ekonomi syariah sejatinya sistem ekonomi beretika. Misalnya, investasi hanya boleh dilakukan ke sektor usaha yang halal dan membawa kemaslahatan (kebaikan) untuk semua. Industri rokok? Tentu tidak boleh. Juga industri senjata, bank konvensional, dan usaha-usaha yang merusak lingkungan.

Dalam praktiknya, perbankan syariah Indonesia lebih banyak menginvestasikan dana nasabah ke sektor riil, bahkan UMKM melalui salah satunya, sistem bagi hasil bank syariah.