Boleh bangga boleh tidak. Meski dunia mengakui batik sebagai karya budaya kita, pasarnya kian terancam batik china, dan ketergantungan kepada pewarna impor.

Jelang ASEAN Economic Community/AEC/MEA atau pasar bebas ASEAN yang akan berlaku pada 2015, perajin batik Indonesia punya dua tantangan besar yakni ‘batik’ China yang membanjiri pasar Tanah Air, dan ketergantungan perajin pada pewarna batik yang hingga kini masih impor.
Ketua Asosiasi Perajin Batik Jatim (APBJ), Putu Sulistiani mengakui gencarnya tekstil bermotif batik China ke Indonesia tidak lepas dari keterbatasan pengetahuan masyarakat kita yang masih sulit membedakan antara batik tulis dengan batik printing.
“Akibatnya, batik China yang sebetulnya kain bermotif batik itu bisa diterima orang Indonesia, apalagi harganya murah,” kata Sulistiani yang ditemui MySharing seusai pengukuhan pengurus APBJ periode 2014-2017 di Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya, Kamis (2/10).
Acara tersebut dihadiri oleh 100 tamu undangan dan 200 UKM dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Kondisi seperti itu sudah pasti tak bisa dibiarkan begitu saja. Apalagi tahun depan pasar bebas sudah berlaku, artinya persaingan akan semakin ketat. Bila persoalan ‘batik’ China tak mampu diatasi, maka perajin batik Nusantara semakin berat bertahan di tengah gempuran pesaing dari ‘luar’.
Menurut Sulistiani, persoalan di atas bukan hanya menjadi pekerjaan rumah para perajin kain nusantara tetapi juga membutuhkan peran Pemerintah lewat kebijakan-kebijakannya yang bisa melindungi para perajin di Tanah Air.
“Saya harap Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan yang tak hanya bisa melindungi pelaku ekonomi seperti perajin batik dalam menghadapi pasar bebas di tahun depan, tetapi juga bisa membuat produk dari luar seperti batik China tak seenaknya masuk pasar Indonesia,” paparnya.
Apalagi, kata pemilik gerai batik Dewi Saraswati di Surabaya ini, selain tertekan oleh ‘batik China’ perajin batik masih dihadapkan persoalan lain yang tak kalah seriusnya, yakni pewarna batik yang hingga kini masih impor.
“Sampai saat ini zat pewarna itu impor dari luar seperti dari China. Selain mahal, terkadang harganya juga dipermainkan oleh pasar Internasional. Kalau sudah demikian para perajin kita hanya bisa pasrah. Karena kita sendiri masih tergantung para mereka,” imbuhnya.
Sekadar diketahui, Pemerintah sebetulnya sudah berulang kali menegaskan produk batik China bukan merupakan jenis kain batik seperti di Indonesia. Namun, hal tersebut tidak membuat masyarakat berhenti membeli pakaian ini. Buktinya, dari waktu ke waktu batik China terus membanjiri pasar dalam negeri. Pada bulan April 2013, menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) impor batik China tercatat sebanyak 31 ton atau senilai 498 ribu dollar AS (Rp 4,731 miliar).
Krisis Perajin
Di dalam negeri sendiri, industri batik juga mempunyai masalah dalam hal keterbatasan perajin batik. Memang ada lulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan batik. Tapi yang memprihatinkan lulusan SMK ini ketika memasuki dunia kerja bukan terjun menjadi perajin batik, melainkan menjadi sales promotion girl (SPG) gerai batik. “Nah, ini khan runyam,” kata Sulistiani.
Padahal, selama menuntut ilmu di SMK para lulusan setingkat SMA ini mendapat bekal keterampilan membatik. “Mestinya, mereka khan menjadi pembatik atau perajin batik, bukan SPG,” tandasnya.
Namun Sulistiani tidak memungkiri bahwa lambannya regenerasi pembatik di kalangan generasi muda tidak lepas dari nilai upah yang diterima para perajin yang terbilang rendah. Sehingga, kata Sulistiani, pekerjaan pembatik belum dianggap sebagai pilihan yang menarik bagi kalangan generasi muda.
“Karena itu, saya mengharapkan para produsen batik hendaknya memikirkan perlunya peningkatan kesejahteraan para perajin batik. Dengan demikian profesi ini nantinya bisa menjadi alternatif bagi kalangan generasi muda untuk masa depannya,” imbuhnya pada acara yang mengusung tema “batik nasional Jawa Timur mendunia” ini.

“Batik ini milik Indonesia, jadi tidak semua negara bisa bersaing di komoditas ini,” Wirasno, Batik Canting Wira.
Tak Perlu Khawatir
Pendapat sedikit berbeda datang dari Ketua Panitia acara Deklarasi APBJ Jatim, Wirasno yang mengatakan bahwa menjelang pasar bebas Asean tahun depan, perajin batik Nusantara tak perlu takut menghadapi persaingan. Karena, menurut pemilik batik ‘Canting Wira’ ini, perajin batik beda dengan mereka yang bekerja di manufacturing. Perajin batik dalam berkarya memiliki skill dan rasa.
Selain itu, perajin batik yang kerap menjuarai lomba batik di level nasional ini yakin kompetitor batik dari ‘luar’ sesungguhnya tidak ada. “Batik ini milik Indonesia, jadi tidak semua negara bisa bersaing di komoditas ini,” tandasnya kepada MySharing.
Meskipun demikian perajin batik diminta untuk tetap meningkatkan kualitas produk maupun kemampuannya. “Perajin batik di Jatim harus mampu membawa karyanya mendunia. Salah satu untuk menunjukkan eksistensinya adalah berani jujur untuk mengatakan produk yang dihasilkan. Kalau yang dihasilkan batik printing ya jangan ngomong batik tulis,” ucapnya mengingatkan.
Pada acara memperingati hari batik nasional kemarin juga dihadiri Ketua Dekranasda Prov Jawa Timur, Nina Soekarwo. Pada kesempatan itu Nina Seokarwo mengungkapkan perasaan bangganya terhadap perajin batik Jawa Timur. Sebab batik Jawa Timur mampu menjuarai batik klasik nasional mengalahkan Jawa Tengah yang terkenal dengan batiknya.
Selain itu, sampai saat ini sudah ada 1.135 motif batik yang berasal dari Jawa Timur dan masih akan terus berkembang. Pada acara itu, ada pameran karya perajin batik di Jawa Timur, seperti Batik Situbondo, Tuban, Surabaya, Lumajang, Ponorogo, Blitar dan berbagai daerah lainnya.
Nina mengatakan, menciptakan batik yang mengandung filosofi daerah tidaklah mudah. Selain berkreasi menampilkan corak, motif maupun warna yang baik agar terus diterima di pasar, batik Jatim harus mampu menggambarkan kekhasan daerah asal sehingga menampilkan filosofi yang kuat.
Ia mencontohkan, filosofi yang dimaksud adalah batik yang digunakan waktu siraman berbeda dengan batik pakaian sehari-hari. Ini artinya, corak dari warna batik dapat mewakili keberagaman dan ciri khas daerah yang ada.
Nina berharap, keberadaan APBJ dapat memperkuat jaringan terutama menghadapi Asean Ekonomi Community (AEC) 2015. Pasar bebas mengharuskan perajin untuk meningkatkan kualitas.

