Kondisi Indonesia yang saat ini masih tergantung pada impor menimbulkan keprihatinan sejumlah pihak. Tak ayal defisit neraca perdagangan pun terjadi, sehingga membebani pemerintah dan masyarakat. Padahal, industri substitusi impor potensial untuk memperoleh pembiayaan dari industri perbankan.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengatakan Indonesia memiliki makanan khas seperti tempe, tetapi ironinya Indonesia mengimpor bahan baku kedelai dari luar negeri. Begitu pula dengan kecenderungan yang terjadi sekarang, dimana pengusaha lebih memilih impor daripada membangun pabrik sendiri. Padahal, lanjut Sigit, dengan populasi penduduk besar Indonesia akan lebih baik jika membuat barang sendiri. “Tapi kalau impor tidak diatur dan penyelundupan tidak diberantas, maka siapa yang mau bangun pabrik tekstil, hanphone dan lainnya, jadi ini perlu kebijakan terintegrasi,” kata Sigit, dalam kick off Indonesia Banking Expo (IBEX) di Griya Perbanas, Jumat (18/7).
Ia menambahkan pemerintah harus mempunyai fokus jelas dalam pengembangan industri substitusi impor. “Kalau sudah jelas, industri ini punya risiko rendah bagi perbankan, dan bisa jadi sasaran bank untuk pembiayaan. Jadi dan tidak usah disuruh, bank akan mengejar sektor ini, dimana ada sektor menguntungkan dan risiko rendah pasti akan dibiayai,” ujar Sigit.
Menurutnya, pemerintah harus mendorong pengusaha yang masuk ke industri subtitusi impor. Misalnya, dengan memberi insentif apakah dari hal perpajakan, perijinan, dan lainnya. “Jadi industri substitusi impor harus menarik agar pengusaha mau masuk ke sana dan bank jadi mau membiayai,” tukas Sigit.
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu membuat cetak biru yang jelas, sehingga perbankan memiliki arah dalam menyalurkan pembiayaan. Sigit mengutarakan dengan menyinergikan antara potensi sektor riil, industri perbankan dan pemerintah maka akan dapat menyumbang bagi perekonomian bangsa.

