Subsidi BBM, sesuaikah dengan ajaran Islam? Bagaimana ekonomi syariah memandang soal ini?

Bahkan, pasca pengurangan subsidi BBM baru-baru ini dengan naiknya harga BBM Premium dari Rp. 6.500 ke Rp. 8.500, perdebatan tersebut masih mengemuka sampai sekarang. Apakah sepantasnya terus dilakukan? Atau lebih baik dihentikan saja?
Menurut pakar ekonomi syariah – Jafril Khalil, MCL, PhD, di dalam sistem perekonomian Islam, sistem ini tidak melihat masalah boleh atau tidak bolehnya suatu subsidi, tetapi yang dilihat adalah apakah setiap kebijakan itu melahirkan kebaikan yang optimal (maslahah)? Atau melahirkan kerusakan yang besar (mafsadah)?
Dijelaskan oleh Jafril, pada era sebelum 1990-an, berbagai kebijakan subsidi BBM dapat memberikan kebaikan yang optimal kepada masyarakat karena berbagai faktor seperti tingkat produksi minyak Indonesia yang masih tinggi dibanding dengan konsumsi dalam negeri, harga minyak dunia yang masih terkendali, dan faktor kecurangan dalam distribusi masih bisa dikendalikan secara optimal, sehingga tidak membebani APBN dan tidak menimbulkan kerusakan terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Di samping itu produktifitas masyarakat Indonesia secara menyeluruh masih tinggi dan ekonomi pada waktu itu tidak berbiaya tinggi.
“Berbeda dengan sekarang kebijakan subsidi BBM ini banyak melahirkan kerusakan (mafsadah). Jika diperhatikan perimbangan produksi BBM dan konsumsi BBM di Indonesia, maka terdapat ketimpangan yang mencolok, di mana tingkat konsumsi kita jauh lebih tinggi dibanding tingkat produksinya, sehingga kita terpaksa mengimpor minyak dari negara lain. Jelas ini membawa malapetaka bagi APBN, apabila harga minyak dunia yang melambung berlipat ganda, sehingga menjadi parasit terhadap APBN”, kata Jafril. Baca juga: Bagaimana Perilaku Konsumsi Dalam Islam?
“Dalam sistem distribusi BBM pemerintah tidak mampu mengawasi dengan baik, sehingga terjadi berbagai penyimpangan seperti penyelundupan minyak yang dilakukan oleh para cupong-cupong yang terkadang bisa bekerja sama dengan oknum-oknum tertentu,” kata Jafril menambahkan.
Jafril menegaskan, hal diatas tentu sangat merugikan kepada masyarakat, di mana uang-uang yang sepatutnya dapat digunakan untuk membangun kesejahteraan, hilang tanpa ada kesan.
Karena itu, lanjut Jafril, berpijak dari kerusakan, kemudharatan dan kezaliman yang muncul akibat subsidi ini, maka dalam konteks agar tercapainya tujuan-tujuan kesempurnaan dan kesejahteraan dalam pembangunan sesuai syari’at (maqashidus syar’i) maka kemudharatan ini mesti dihilangkan (ad-dharar yuzal).
Dijelaskan Jafril, menghilangkan kemudharatan ini adalah dengan cara mencabut subsidi BBM dan membiarkan harga BBM disesuaikan dengan harga pasar. Dengan demikian tidak akan mungkin lagi terjadi penimbunan BBM, monopoli BBM, penyelundupan BBM, dan pendistribusian yang tidak benar. Sebab harga yang sesuai dengan pasar, secara otomatis akan memperbaiki semua sistem ini dan dengan demikian juga tidak ada kemubaziran APBN, dimana kemubaziran itu diharamkan dalam Islam (lihat Al-quran Surat Al-isra: 27). Baca juga: Pemerintah Berjudi dengan Pemangkasan Subsidi
Pencabutan subsidi ini pasti akan menimbulkan dampak lain seperti terjadinya inflasi, hal ini tentu menurunkan daya beli masyarakat dan kurang bergeraknya perekonomian.
Jafril lalu menjelaskan, prinsip Islam dalam hal subsidi BBM ini sangat tergantung dengan kepiawaian pemerintah dalam mengelola keuangan negara. “Seandainya pemerintah mampu mengendalikan inflasi dengan baik dan menciptakan fasilitas-fasilitas pekerjaan untuk masyarakat di mana secara mayoritas masyarakat bisa berproduksi dengan baik, maka menghilangkan subsidi itu adalah pilihan terbaik karena masyarakat akan menjadi masyarakat yang mandiri, kuat dan sejahtera. Kalau pemerintah tidak profesional dalam mengendalikan dampak kenaikan harga BBM yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan kepada rakyat, maka pilihan subsidi BBM ini tetap dibolehkan agar tidak terjadi kerusakan dan kesengsaraan yang lebih dalam lagi,” demikian Jafril Khalil. Baca juga: Hibah, Solusi Ekonomi Islam Atasi Inflasi

