Alumni Pusat Kajian Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Saptono Budi Satryo, memaparkan materinya dalam Seminar Syariah dan Legal Pluralisme di Asia Tenggara dan Australia di Gedung IASTH UI, Selasa (27/1).

Islam Juga Toleran

Persepsi dunia Barat mengenai dunia Islam terkadang cenderung negatif, tertutup, dan tidak dapat berintegrasi dengan masyarakat dunia lainnya. Padahal, Islam sebagai rahmatan lil alamin itu komprehensif, humanis, proaktif, kontekstual, statis dan dinamis.

Alumni Pusat Kajian Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Saptono Budi Satryo, memaparkan materinya dalam Seminar Syariah dan Legal Pluralisme di Asia Tenggara dan Australia di Gedung IASTH UI, Selasa (27/1).
Alumni Pusat Kajian Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Saptono Budi Satryo, memaparkan materinya dalam Seminar Syariah dan Legal Pluralisme di Asia Tenggara dan Australia di Gedung IASTH UI, Selasa (27/1).

Alumnus Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PSKTTI UI), Saptono Budi Satryo, mengatakan legalitas syariah terkait akidah dan bidang ibadah murni tentu tidak boleh diubah, namun cukup banyak fenomena pluralistik yang terjadi di masyarakat dan harus ditoleransi. Namun, ada toleransi yang dapat diterima dan ditolak secara syariah. “Kalau toleransi dimaknai sebagai permisif dengan membiarkan kemungkaran, itu jenis toleransi yang salah,” katanya dalam Seminar “Syariah dan Legal Pluralisme di Asia Tenggara dan Australia” yang digelar oleh Ikatan Alumni PSKTTI UI, Selasa (27/1). Baca juga: Tantangan Islam sebagai Rahmatan Lilalamin

Menurutnya setiap orang boleh bebas berpendapat, namun tetap ada batasannya. “Orang bisa saja bilang mencuri halal atau mencuri itu haram, atau ada yang berpendapat kumpul kebo tidak masalah asal suka sama suka. Namun, mengenai hal ini yang menjadi parameter batasannya adalah agama yang menjadi pegangan sampai akhir hayat, yang menyatakan ini yang benar dan salah,” ujar Saptono.

Di sisi lain, lanjutnya, Islam juga memiliki batasan dalam bertoleransi. Saptono menuturkan ketika menyentuh yang sifatnya hubungan vertikal (bidang ibadah murni dan aqidah), maka tidak ada toleransi. “Namun bidang di luar ibadah murni dan aqidah, toleransi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral-ideal nash,” jelas Saptono. Baca juga: Muslim Dilarang Ucapkan Selamat Natal, Ini Fatwanya

Ia menambahkan Islam pun humanis dan terbuka dengan mengambil apa yang sudah ada dan memberikan nilai baru yang lebih baik. Hukum fikih syariah, ujar Saptono, dapat berubah karena adanya perubahan zaman, tempat, keadaan, adat dan niat. Hal yang menjadi pedoman dan acuan kontekstualisasi di antaranya adalah perubahan hukum yang disebabkan perubahan kondisi, kesulitan mendatangkan kemudahan, hukum asal dari muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarang, serta memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.[su_pullquote align=”right”]“Kalau toleransi dimaknai sebagai permisif dengan membiarkan kemungkaran, itu jenis toleransi yang salah” [/su_pullquote]

Saptono menyontohkan contoh universalisme dan semangat keterbukaan dan toleransi syariah Islam di antaranya adalah penggunaan mata uang dinar dari imperium Romawi dan dirham dari Imperium Persia, penggunaan akad-akad muamalah yang telah dikenal oleh Arab jahiliah (murabahah, mudharabah, dll), ajaran aqiqah, hingga penggunaan jumlah hari dari peradaban Mesopotamia. “Mesopotamia menentukan nama hari menggunakan nama dewa. Islam mengadopsi jumlah hari dalam seminggu dari Mesopotamia dan mengganti nama-nama hari menggunakan nama-nama yang tidak bertentangan dengan nilai Islam,” papar Saptono.