Ternyata penerapan Islamic microfinance di Malaysia ditangani langsung oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia melalui dua lembaga mikro finance milik Kerajaan. Apa sajakah kelebihan dan kekurangannya?

Prof. Muhammad Syukri Salleh, D.Phill (Oxon) – Director Centre for Islamic Development Management Studies (ISDEV) atau Pusat Kajian Pengurusan Pembangunan Islam, Universiti Sains Malaysia, baru saja datang ke Indonesia guna melakukan pertemuan dengan para pengurus Center for Islamic Studies, Finance, Economic and Development (CISFED), dan juga dengan pengurus PBMT Ventura di Jakarta.
MySharing beruntung bisa mewawancarai dengan Prof. Syukri, begitu ia biasa dipanggil, pasca kunjungan Prof. Syukri ke kantor PBMT Ventura di bilangan SCBD, Jakarta, (15/2/2015). Kepada MySharing, Prof. Syukri banyak berbicara mengenai bagaimana perkembangan Islamic Mikro Finance di Malaysia, yang kondisinya ternyata agak jauh berbeda dibandingkan dengan di Indonesia. Berikut dibawah ini petikan wawancara MySharing dengan Prof. Syukri.
Bisa diceritakan kegiatan lembaga Pusat Kajian Pengurusan Pembangunan Islam (ISDEV) tempat anda berkiprah?
Saya datang dari Pusat Kajian Pengurusan Pembangunan Islam yang berpusat di Pulau Penang, Malaysia. Di tenpat saya, kita membina (mengkaji) model, bagaimana mengurus pembangunan secara Islam. Ada 4 bidang yang kami kaji, yaitu, pertama, asset management dimana mikro finance termasuk disini. Kedua, manajemen institusi. Ketiga, berkenaan dengan pembangunan Islam. Dan Keempat, berkenaan dengan ekonomi politik Islam.
Baiklah, terkait salah satu bidang yang dikaji ISDEV, bisa diceritakan tentang Islamic Mikro Finance di Malaysia?
Mikro finance di Malaysia prinsipnya adalah lembaga memberikan modal kepada orang miskin, guna membantu mereka untuk berusaha, sehingga akhirnya mereka terlepas dari kemiskinan.
Di Malaysia mikro finance diurus oleh pemerintah. Ada dua lembaga mikro finance yang besar, yaitu Amanah Ikhtiar Malaysia dan Tekun. Amanah Ikhtiar Malaysia memberikan kemudahan keuangan (modal) kepada mereka yang mau berusaha untuk berniaga, dan usaha-usaha lainnya. Tekun juga begitu.
Amanah Ikhtiar Malaysia itu agak berjaya, karena sebagian ahlinya adalah wanita. Wanita bila diberi tanggung-jawab pembiayaan mereka lebih commit untuk mengembalikan. Dalam prakteknya, Amanah Ikhtiar Malaysia itu berjaya (sukses) untuk membantu orang miskin yang ada kepakaran (keahlian) untuk melakukan sesuatu, tapi tidak ada modal. Untuk Tekun, lembaga ini juga membantu para pengusaha kecil yang hendak menambah modal, atau mau memperbesar perniagaannya.
Amanah Ikhtiar Malaysia dan Tekun ini adalah lembaga mikro finance yang berhasil di Malaysia dan dimiliki oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia. Selain, kedua lembaga itu, hanya ada lembaga-lembaga mikro finance dalam skup kecil. Yang kecil-kecil ini juga memberikan mikro kredit kepada pekerja-pekerja bawahan (buruh) yang pendapatannya kecil.
Berarti Islamic mikro finance di Malaysia sifatnya lebih kearah Top Down?
Benar. Awalnya, Amanah Ikhtiar Malaysia dan Tekun berasal dari kampus, yaitu Universiti Sains Malaysia (USM). Pelopor Amanah Ikhtiar Malaysia adalah Prof. Syukur Kasim dan David Gibbon, yang terinspirasi dari konsep Grameen Bank, Bangladesh dari M. Yunus.
Prof. Syukur dan David Gibbon kemudian membawa pulang konsep Grameen itu ke Malaysia, dan disesuaikan dengan kondisi Malaysia. Dan Alhamdulilah ternyata bisa berjaya (sukses). Karena itu, Kerajaan Malaysia (pemerintah) lalu mengambil alih pengelolaannya. Begitu juga dengan Tekun. Lembaga ini juga dipelopori dari Universiti Sains Malaysia. Setelah berjaya, lalu Kerajaan juga mengambil alih.
Bisa diceritakan lebih rinci bagaimana penetrasi kedua lembaga mikro finance itu ke kalangan menengah bawah di Malaysia?[su_pullquote align=”right”]”Kalau di Malaysia, microfinance ini bermula dari kampus, kemudian diambil alih oleh pemerintah, dan pemerintah lalu mengurusinya, artinya dari top down. Sementara di Indonesia, mikro finance ini berasal dari bawah, yaitu dari akar rumput (grass root).”[/su_pullquote]
Amanah Ikhtiar Malaysia dan Tekun itu beroperasi di seluruh wilayah Malaysia. Dampaknya pun banyak bisa dirasakan oleh kalangan menengah bawah di negara ini. Karena kedua lembaga ini lebih banyak fokus memberikan bantuan kepada perdangan usaha kecil, misalnya, ke warung-warung (toko-toko), pasar-pasar tradisonal, atau pusat-pusat niaga. Pembiayaan diberikan kepada kelompok, yang biasa rutin berjumpa (bertemu) seminggu sekali dengan koordinatornya. Pembiayaan diberikan dengan cara menjemput bola mendatangi masyarakat, dan ada juga yang mengakomodasi permohonan atau permintaan langsung dari masyarakat sendiri.
Lalu bagaimana penerapan sharia compliance atau maqosid syariah dari lembaga-lembaga mikro finance di Malaysia ini?
Mereka mencoba melakukannya secara Islam, dan pembiayaan dilakukan dengan menggunakan akad qordhul hasan. Namun di sini, ada perbedaan pendapat mengenai qordhul hasan ini. Ada yang menganggap qordhul hasan itu ribawi, karena ada pembayaran yang melebihi. Namun ada juga yang menganggap qordhul hasan itu tidak mengandung riba. Jadi, ada dua pendapat, yang satu menganggap service charge riba, dan satunya tidak, bergantung keyakinan masing-masing.
Baiklah, bagaimana anda memeperbandingkan penerapan Islamic mikro finance di Malaysia dengan di Indonesia?
Kalau di Malaysia, microfinance ini bermula dari kampus, kemudian diambil alih oleh pemerintah, dan pemerintah lalu mengurusinya, artinya dari top down. Sementara di Indonesia, mikro finance ini berasal dari bawah, yaitu dari akar rumput (grass root).
Menurut saya, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kalau yang bermula dari atas, seperti di Malaysia, maka kelebihannya adalah sumber-sumber pendanaannya banyak, lalu juga didukung kemudahan regulasi, karena semua didukung oleh Pemerintah (Kerajaan Malaysia). Sementara kekurangannya adalah, kalau terjadi masalah atau persoalan politik di negara ini. Itu bisa mempengaruhi kiprah lembaga mikro finance yang ada.
Sementara kalau bermula dari bawah, seperti di Indonesia, maka kelebihannya adalah komitmen para pelakunya lebih kuat karena berasal dari hasrat masyarakat Indonesia sendiri (akar rumput) yang ingin maju dan mandiri. Namun demikian, kekurangannya adalah sumber pendanaan yang kurang,, selain juga komitmen pemerintah yang minim karena tidak secara khusus menangani bidang ini. Sehingga terkadang mikro finance di Indonesia kesulitan karena tidak didukung regulasi dan kebijakan yang mendukung.

