
Sharing/ Heru Lesmana Syafei
Laporan skandal privatisasi air dari Sungai Ciliwung di Jakarta yang terjadi pada 1997 pertama kali diinvestigasi secara mendalam dan lengkap oleh jurnalis, Andreas Harsono. Laporannya tayang di Majalah Gatra edisi 7 Mei 2004 dengan judul “Dari Thames ke Ciliwung”.
Laporan tersebut menginspirasi sejumlah masyarakat sipil untuk membentuk gerakan menuntut pengembalian pengelolaan air kepada Negara, misalnya oleh pembentukan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA). Masyarakat juga minta Andreas Harsono untuk bersaksi dalam sidang Gugatan Warga terhadap Privatisasi Air Jakarta, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Selasa, 4 Februari 2014 silam.
Untuk terus mendorong perbincangan isu-isu terkait hak air dan sanitasi dalam keseharian masyarakat perkotaan KRuhA membuat serial diskusi Water Talk, yang pada serial terakhir bertajuk “Connecting Communities, Promoting Democratic Urban Water Reform,” berlangsung di sebuah Kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Andreas diminta menjadi pembicara utama dalam diskusi tersebut. Diskusi juga digelar untuk mengingat Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2014. KRuHA bermaksud mendorong reformasi kebijakan tata kelola air perkotaan yang demokratis oleh Negara, agar warga kembali mendapat haknya.
Koordinator KRuHA, Muhammad Reza, mengatakan, perjuangan untuk hak atas air pada dasarnya adalah perjuangan untuk demokrasi. Solusi-solusi yang bertujuan untuk layanan yang adil dan merata bagi semua warga lebih merupakan tantangan politik (kebijakan) daripada sekedar tantangan teknis, dan untuk itu kesadaran dan keterlibatan nyata masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan adalah penting.
Menurut Reza, pengelolaan layanan air di kota-kota Indonesia telah dikenal karena reputasinya yang buruk (kontrak rahasia, korupsi, kualitas air yang buruk, tarif air yang mahal dll). Sejak awal berdiri, KRuHA terbantu oleh kecapakan para peneliti dan jurnalis yang memiliki kecakapan dalam menginvestigasi kebijakan serta kontrak – kontrak rahasia.
Pengelolaan air bersih di Jakarta berada dikuasai oleh dua perusahaan swasta yang memperdagangkannya kepada warga. Dua perusahaan terbagi masing-masing menguasai sisi Barat dan Timur sumber penyaluran air bersih Jakarta. Privatisasi tersebut diduga merugikan keuangan Negara sampai Rp590 Miliar.
Andreas mengatakan, gagasan privatisasi air yang dulunya dikelola PAM Jaya kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Kala itu Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di Asia. Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun pada Juni 1991. Utang tersebut digabung dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta. Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi PAM Jaya.

