Ketimpangan ekonomi Indonesia terus membesar. Pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK akan berhadapan dengan masalah jangka panjang ini, menurut laporan Bank Dunia
Dalam Indonesia Economic Quarterly, laporan utama perwakilan Bank Dunia di Indonesia edisi Juli 2014, ketimpangan ekonomi menjadi salah satu topik yang menjadi perhatian besar. Dikatakan laporan tersebut, ketimpangan ekonomi akan menjadi masalah jangka panjang yang harus dipikirkan solusinya sejak saat ini oleh pemerintahan baru Indonesia. Selain, masalah jangka pendek, yaitu tekanan fiskal dan defisit transaksi berjalan akibat harga minyak dunia dan menurunnya pendapatan ekspor.
Laporan tersebut mengakui, tingkat kemiskinan yang tinggi telah berhasil ditekan selama dekade terakhir, namun terjadi peningkatan kesenjangan antara masyarakat yang kaya dan yang miskin. Pada 2002, tingkat konsumsi dari 10% rumah tangga paling kaya adalah 6,6 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi 10% rumah tangga termiskin. Pada 2013, perbandingan ini meningkat, kelompok terkaya mengkonsumsi 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok termiskin. Bahkan setelah bertahun-tahun, banyak pekerja belum berhasil meningkatkan pendapatannya, sehingga mereka terancam jatuh kembali dalam kemiskinan.
Peningkatan kesenjangan ekonomi merupakan keprihatinan yang sangat serius. “Meningkatnya kesenjangan membawa risiko bagi pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial. Kebijakan-kebijakan pro-masyarakat miskin, seperti perbaikan infrastruktur di pedesaan, perluasan akses ke pendidikan yang berkualitas dan mobilitas pasar tenaga kerja,akan mampu meningkatkan pendapatan keluarga yang miskin dan rentan, serta membantu memerangi ketidaksetaraan, ” jelas Ndiame Diop, Ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia dalam siaran pers Bank Dunia (22/7).
Kurangi Subsidi BBM
Sementara, dalam jangka pendek, pemerintah baru Indonesia yang akan dilantik Oktober ini akan menghadapi masalah kerentanan fiskal. Depresiasi Rupiah dan naiknya harga minyak telah memperbesar defisit fiskal, karena peningkatan biaya subsidi energi. Melemahnya perolehan pendapatan negara juga memperbesar defisit fiskal. Total pendapatan negara terhadap PDB telah turun dari 16,3% pada 2011, menjadi 15,3% pada 2013.
“Membatasi defisit fiskal sebesar 2,4% dari PDB, seperti yang diproyeksikan dalam APBN-P 2014,akan sulit dilakukan terutama jika harga minyak terus meningkat. Langkah-langkah yang dapatmemperbaiki kualitas belanja melalui pengurangan subsidi BBM dan mencegah penurunan lebih lanjut dalam pendapatan pajak dan non-pajak akan dapat mengurangi tekanan defisit,” kata Ndiame Diop.
Pertumbuhan yang Hanya untuk Sebagian Orang
Sebanyak 20% rumah tangga paling kaya menguasai hampir setengah dari seluruh konsumsi penduduk Indonesia. Sementara, 40% rumah tangga paling miskin hanya seperlima dari seluruh konsumsi.
Sejak era reformasi, pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan jurang kemiskinan. Antara 1999 hingga 2012, tingkat kemiskinan berkurang setengah dari 24 menjadi 12%. Namun, 65 juta penduduk masih hidup di antara tingkat kemiskinan nasional sebesar USD 1,25 per hari dan tingkat kemiskinan global USD 2 per hari.
Dari metrik ketimpangan ekonomi, koefisien Gini Indonesia pada 2013 mencapai 0,42 naik 12 poin dalam 10 tahun (0,30 pada 2000). Menggali lebih dalam dari metrik tersebut, mengukur tingkat konsumsi. Jika dibandingkan 2002, rata-rata konsumsi per penduduk dari 10 % rumah tangga paling kaya di Indonesia berjumlah 6,6 kali dibanding 10% rumah tangga yang paling miskin; pada tahun 2013, angka pembanding tersebut meningkat menjadi 10,3 kali.
Karenanya, konsumsi dari 10% rumah tangga paling kaya tersebut hampir mencapai sepertiga dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia, dan semakin menyusut sejalan dengan waktu. dengan konsumsi 20 % yang paling kaya hampir mencapai setengah dari seluruh konsumsi. Konsumsi dari 40% rumah tangga yang paling miskin, di sisi lain, hanya seperlima dari seluruh konsumsi
Kita Sebenarnya Menyadari Ketimpangan Ini
Ketimpangan ekonomi ini ternyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Lebih dari 90% responden dari survei persepsi tentang ketimpangan (Inequality Perceptions Survey ) menyatakan bahwa Indonesia ‘timpang’, dan 40% bahkan menyatakan ‘sangat timpang’. Mereka memerkirakan bahwa 20% penduduk paling mampu menerima 38% dari seluruh jumlah pendapatan nasional, hampir empat kali dari jumlah yang mereka perkirakan diterima oleh 20% penduduk paling miskin (7% dari pendapatan nasional).
Survei persepsi ketimpangan ekonomi ini sejatinya belum selesai dan baru akan dipublikasi pada 2015. Namun, Bank Dunia membocorkan sedikit temuan awal dari survey ini dalam laporan kinerja ekonomi tiga bulanan Indonesia versi Bank Dunia ini.
Ketimpangan Ekonomi Sebenarnya Bisa Lebih Tinggi
Menariknya, tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia yang sesungguhnya bisa jadi lebih tinggi. Laporan tersbeut menjelaskan mengapa. “Ketimpangan secara akurat membutuhkan pengumpulan data dari sampel yang mewakili seluruh rumah tangga, dari yang paling miskin hingga yang paling mampu. Namun di Indonesia tampaknya rumah tangga yang paling mampu melaporkan konsumsi yang lebih rendah atau tidak terwakili sama sekali dari data yang ada”, tulis Laporan tersebut.
Survey persepsi ketimpangan Bank Dunia yang tengah berlangsung ini menggunakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 sebagai salah satu pijakan datanya. Susesnas 2012 memperkirakan ketimpangan, hanya 5 juta penduduk (atau 2 % dari populasi) mengkonsumsi lebih dari Rp 2 juta per bulan selama tahun 2012, dan 1,3 juta (0,5%) penduduk mengkonsumsi lebih dari Rp 4 juta per bulan.
Sayangnya, hanya sekitar setengah pemilik mobil penumpang pribadi yang terdaftar di kepolisian dapat dijumpai pada Susenas. “Jika setengahnya tidak tercatat, maka nilai koefisien Gini yang sesungguhnya tampaknya akan jauh lebih tinggi. Laporan ketimpangan ekonomi yang akan datang berusaha untuk memperbaiki hal ini dengan menggunakan metode-metode non-survei guna memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berada pada bagian atas dari distribusi pendapatan”, tulis laporan Bank Dunia tersebut.
Bank Dunia juga mengapresiasi inisiatif perlindungan sosial, khususnya program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, “Transformasi besar-besaran sistem jaminan sosial di Indonesia baru dimulai dan hasilnya sangat bergantung pada bagaimana reformasi ini diterapkan”, tulis laporan tersebut.
Middle Income Trap
Tantangan janga panjang berupa ketimpangan ekonomi dapat berimbas kepada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan kohesifitas sosial Indonesia. Bank Dunia memperingatkan pemerintahan baru akan bahayanya terjebak dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Laporan ini lantas menjelaskan bagaimana Indonesia bisa naik menjadi negara berpenghasilan tinggi dalam dua dekade, dan mencapainya dengan kesejahteraan yang lebih merata, melalui reformasi di enam bidang penting: (1) menutup kekurangan dalam bidang infrastruktur; (2) menututup kekurangan dalam bidang keterampilan; (3) membangun pasar yang berfungsi dengan baik; (4) tersedianya layanan umum yang bermutu bagi semua;(5) meningkatkan perlindungan sosial; (6) manajemen risiko bencana alam.
“Jika tidak ada reformasi penting, Indonesia akan sulit naik, seperti halnya Brazil, Mexico, Afrika Selatan, dan beberapa negara berpenghasilan menengah lain pada awal 1980-an hingga pertangahan tahun 2000,” kata Ndiame Diop.
Salah satu cara yang dinilai dapat menghindarkan adalah mendanai reformasi tersebut tanpa harus mengganggu kondisi fiskal jangka panjang. Dari mana dananya? Bank Dunia menyarankan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), serta memberlakukan belanja yang lebih efisien di tingkat pemerintah pusat dan daerah.
Namun, tantangan utama pertumbuhan dan ketimpangan ekonomi sebenarnya terletak pada sisi tata kelola. “Tantangan utama adalah menerapkan reformasi tersebut dalam pemerintahan yang kompleks dan terdesentralisasi. Jika gagal, akan membawa kerugian sangat besar. Namun sebaliknya, tindakan yang tepat juga akan membawa kesejahteraan tinggi”, tulis Laporan tersebut.