Menjelang Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar musyawarah bersama Ormas Islam di kantor MUI Pusat Jakarta (11/12).

Ia menuturkan, berdirinya Serikat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 adalah titik tolak pergerakan nasional yang digulirkan oleh umat Islam Indonesia. Kemudian dipertegas lagi dengan terselenggaranya Kongres Umat Islam Indonesia tahun 1945.”Kongres ini berhasil melahirkan consencus of Islamic politic bersama Majelis Syuro Muslimin Indonesia,” ujar Slamet.
Demikian pula, lanjutnya, lahirnya fatwa Jihad NU di tahun 1945 ditahbiskan sebagai fatwa umat Islam Indonesia. Sehingga secara kekuatan politik, Umat Islam Indonesia sangat diperhitungkan. Umat Islam Indonesia juga selalu istiqamah menerima Pancasila sebagai implementasi doktrin kalimatun sawa untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan negara Indonesia hingga saat ini pula.
Melihat perkembangan kondisi umat Islam Indonesia terkini, justru terkesan menjadi entitas yang tertinggal di segala bidang kehidupan, baik ekonomi, teknologi hingga politik. Umat Islam Indonesia membutuhkan instrumen gerakan yang integral dan mampu mengakomodasi kepentingan Islam berkomitmen ke-Indonesiaan.
Lalu bagaimana caranya agar kepentingan umat Islam Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan dapat dijalankan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia? Harapannya, menurut Slamet, umat Islam Indonesia bisa dipersatukan dan diselaraskan untuk mewujudkan kehidupan yang rukun, bersatu dan bersahaja. Di sisi lain, umat Islam tetap menjadi pilar utama menjaga komitmen berbangsa yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.”Inilah tantangan pertama umat Islam Indonesia dalam politik Islam,” tegasnya.
Tantangan kedua, lanjutnya, adalah masalah ekonomi umat. Melihat kontribusi dan totalitas umat Islam dalam merintis berdirinya NKRI, selayaknya dapat merasakan pembangunan ekonomi nasional secara maksimal. Namun realita menunjukkan, umat Islam Indonesia justru ditinggalkan oleh sistem ekonomi nasional yang kurang berpihak kepada pemberdayaan umat Islam. Malah pelemahan terus terjadi dan berbuah pada upaya pemurtadan agama dan sekularisasi.
Akibatnya, potensi ekonomi umat Islam yang sebetulnya sangat besar menjadi terpinggirkan hingga mayoritas umat Islam Indonesia menjadi masyarakat ekonomi kelas bawah. Umat Islam Indonesia pun terjebak dalam klaster ekonomi konsumen bukan produsen.”Jika ini terus dibiarkan, maka akan kontraproduktif dengan tuntunan Islam yang menghendaki agar umatnya produktif, bukan umat yang lemah,’ kata Slamet.
Ia menegaskan, tantangan politik Islam dan ekonomi umat tersebut memiliki dampak serius dalam masalah identitas peradaban Islam Nusantara. Misalnya dalam hal kebijakan tata ruang telah terjadi pergeseran paradigmatic terhadap dimensi spiritual dan filosofi keIslaman. Dimensi religi dan spiritual Islam di sektor tata ruang publik menjadi terpinggirkan. Masjid, alun-alun, perguruan tinggi, dan perpustakaan Islam, semakin terdesak oleh pembangunan fasilitas publik yang berciri hedon dan konsumeristik.
Hal ini sudah terjadi baik di perkotaan dan mulai menggerus di daerah pedesaan. Motifnya mulai dari proyek real estate, pembangunan hypermarket hingga kawasan pusat industri. Jika umat Islam tidak tegas dalam hal penguatan tata ruang, maka simbol-simbol peradaban Islam semakin tergerus. Sehingga umat Islam Indonesia akan kehilangan peradaban Islam di negerinya sendiri.
Untuk mempertajam dan memperkaya perspektif problematika dan dinamika permasalahan keumatan serta kebangsaan tersebut. Maka, tegas Slamet, akan digelar diskusi dan seminar terkait isu-isu krusial dalam rangka acuan penyelenggaraan Kongres Umat Islam Indonesia ke- VI 2015 bertajuk “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban.”

