Warga berinisiatif menggalang donasi untuk pembangunan mesjid di Tolikara, daripada menyebar kebencian. Pemerintah pun berkomitmen membangunkan kembali mesjid yang terbakar. Nah, jika pemerintah juga mau membangun, dana dari warga mau diapakan?
Insiden terbakarnya mesjid di Papua menuai reaksi keras di media sosial dengan tagar #SaveMuslimPapua mendominasi percakapan, sementara sebagian lagi menyerukan solusi tanpa kekerasan.
Segera setelah berita tentang insiden di Tolikara, Papua, muncul di media massa pada Jumat (17/07), pengguna media sosial bereaksi dengan #SaveMuslimPapua yang hingga kini sudah digunakan lebih dari puluhan ribu kali.
Agar tidak menjadi kemarahan massa, sebagian netizen kreatif menginisiasi grakan filantropi untuk Muslim di Tolikara. Salah satunya adalah gerakan yang diinisiasi Pandji Pragiwaksono berhasil mengumpulkan sumbangan lebih dari Rp270 juta untuk membangun kembali musala di Tolikara pascainsiden yang terjadi akhir pekan lalu.
Pengumpulan dana yang dilakukan melalui situs crowdfunding kitabisa.com ditutup, Senin (21/07), setelah dibuka selama tiga hari. Jumlah dana yang terkumpul melebihi target dengan total hingga Rp279 juta.
Dari BBC Indonesia, Pandji mengatakan, bahwa masyarakat “lebih suka beraksi secara nyata” dibandingkan “saling tunjuk, menyalahkan, dan menyebar kebencian.”
Selain Pandji, lembaga amil zakat pun turun tangan. Dari yang populer seperti Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa hingga yang belum begitu populer.
Berikut ini kurasi percakapan di media sosial terkait donasi Tolikara. Ada pertanyaan menggelitik sebenarnya. Sejak, Pemerintah menyatakan berkomitmen untuk membangun kembali bangunan yang rusak di Tolikara gara-gara insiden ini, akan dikemanakan sumbangan masyarakat yang dikumpulkan beberapa lembaga ini?

