Oleh: Cholil Nafis, Lc., Ph.D
Dosen Ekonomi Syariah Pusat Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI) Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI)
Republik Islam Iran memakai sistem ekonomi Islam, sedangkan Indonesia dual system, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi syariah. Secara filosofi dan landasan, antara Iran yang berbasis ajaran Syi’ah dengan ekonomi syariah di Indonesia yang menganut paham Sunni sebenarnya tidak jauh berbeda. Akan tetapi, pada aplikasi akad dan kontrak ekonomi syariah, ada perbedaan mencolok antara ekonomi syariah di Indonesia dengan yang di Iran. Seperti kontrak di perbankan, asuransi, dan sukuk.
Homo Economicus
Secara filosofi, manusia adalah makhluk ekonomi. Karena tidak satupun manusia yang dapat hidup tanpa mengonsumsi, memproduksi dan mendistribusi. Kebutuhan mengonsumsi menuntut adanya produksi, namun tidak semua orang mampu memproduksi semua kebutuhannya sehingga diperlukan adanya distribusi. Karenanya, keterpautan kemampuan seseorang dengan yang lain menciptakan ketergantungan antara sesama sebagai ciri manusia sebagai makhluk sosial.
Kebutuhan manusia untuk mengonsumsi niscaya memerlukan harta. Harta pada dasarnya sesuatu yang baik. Namun, sikap seseorang untuk memperoleh dan menggunakan harta yang menyebabkan harta itu terpuji atau tercela. Harta terpuji adalah harta yang diperoleh dengan cara halal dan dipergunakan untuk kebaikan dan didermakan, sedangkan harta tercela adalah harta yang diperoleh dengan cara tidak benar dan digunakan untuk kemaksiatan atau untuk menumpuk kekayaan.

Rasulullah saw bersabda: (“لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ” (الترمذي
“Setiap umat pasti mendapat cobaan (fitnah), sedangkan cobaan umatku adalah harta” HR. Turmudzi
Ekonomi dalam pandangan Islam tidak hanya harta yang berupa materi dan produksi yang bersifat fisik, tetapi juga harus dapat memenuhi kebutuhan rohani. Karenanya, ekonomi tidak semata-mata kepentingan profit, namun semestinya berakar dari etika dan nilai kemanusiaan.
Karakteristik ekonomi syariah terletak pada kerangka moral dan etika. Aturan yang dibentuk dalam ekonomi Islam merupakan aturan yang bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, kehidupan dan tujuan akhir manusia. Ekonomi menurut Islam tidak semata-mata keuntungan materi, lebih dari itu ekonomi adalah sarana untuk membangun ikatan kemanusiaan yang saling membutuhkan dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Empat Ciri Ekonomi Islam
Ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis yang menekankan kepentingan individu atausistem ekonomi sosialis/komunis yang hanya memfokuskan pada kepentingan umum. Ekonomi Kapitalis menihilkan peran negara karena sepenuhnya menganut mekanisme pasar. Mengakui kepemilikan pribadi secara mutlak. Cita-cita utamanya adalah adanya pertumbuhan ekomomi, sehingga setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi sebebas-bebasnya untuk mendapatkan profit.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis muncul sebagai respon dari paham kapitalis yang mengeksploitasi manusia, sehingga peran negara sangat dominan. Tidak mengakui kepemilikan pribadi. Akibatnya, aktivitas ekonomi bagi setiap individu terpasung, karena semuanya untuk kepentingan bersama. Negara bertanggung jawab dalam mendistribusikan sumber dan hasil produksi kepada seluruh masyarakat.
Islam memandang ekonomi tidak lepas dari empat ciri, yaitu Rabbaniyyah (ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan, dan Wasathiyah (keseimbangan). Ciri-ciri ini yang menyatukan kepentingan duniawi dan uhkrawi, ketuhanan dan kemanusiaan, materi dan ruh. Ciri Rabbaniyah terletak pada keterkaitan seluruh aktifitas produksi, konsumsi dan distribusi semata-mata untuk menjalankan tugas sebagai khaifah di muka Bumi, membangun peradaban manusia dan memakmurkan Bumi.
Ciri Rabbaniyah ini meniscayakan ekonomi yang beretika. Ciri etika tersebut teletak pada tidak adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak. Islam memandang aktifitas ekonomi untuk kemaslahatan. Dilarang menipu, melakukan riba dan menzalami yang lain hanya untuk kepentingan pribadi.
Ciri kemanusiaan juga terlihat dalam relasi persaudaraan dan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan. Dalam transaksi tidak semuanya berbasisi profit, karena adakalanya untuk menolong, dengan skim qardhul hasan (pinjaman tanpa bagi hasil). Ciri keseimbangan (wasathiyah) terlihat dari pengakuan Islam terhadap hak milik individu, tetapi di sisi lain mengakui hak umum. Hak milik individu memungkinkan seseorang untuk memperoleh harta sebanyak-banyaknya, tetapi harus berbagi dengan yang lain sebagai implementasi dari hak umum, yaitu beupa zakat, wakaf dan sedekah.
Kehidupan dunia adalah ladang untuk bercocok tanam yang akan dipanen di akhirat kelak. Dalam pandangan Islam, harta bukan tujuan tetapi hanya sarana untuk mencapai kehidupan beragama yang baik. Karenanya, aktifitas ekonomi tidak semata-mata untuk menumpuk kekayaan, tetapi cara memperoleh dan menggunakannya harus berlandaskan keimanan, akhlak dan keseimbangan antara fisik dan ruh. (Bersambung)
