MUI: Konflik Yaman, Untungkan Yahudi Hancurkan Umat Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai perang Yaman memberikan keuntungan ekonomi bagi Yahudi. Sebaliknya umat Islam dibuat hancur dan babak belur.

Pemberontak Syiah Houthi melakukan unjuk rasa di Sanaa, Yaman untuk memrotes serangan udara Arab Saudi.
Pemberontak Syiah Houthi melakukan unjuk rasa di Sanaa, Yaman untuk memrotes serangan udara Arab Saudi.

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, KH Muhyiddin Jubaidi, mengatakan, konflik Yaman adalah kekuatan dari mantan Presiden Yaman yaitu Ali Abdullah Saleh, yang mengekspolitasi kelompok Syiah Houthi untuk mendongkel pemerintahan yang sah dibawah pimpinan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi.

“Pada akhinya mengundang reaksi dari negara-negara sahabat dengan apa yang dilakukan oleh Ali Abdullah Saleh itu merupakan sebuah kudeta terhadap presiden terpilih yang sah,” kata Muhyiddin kepada MySharing,  saat ditemui di kantor MUI Pusat Jakarta, Kamis (23/4).

Padahal, lanjutnya, Ali Abdullah Saleh dengan kelompok Houthi-nya, sudah bermusyawarah untuk berdamai. Tetapi kenyataanya mereka tetap menyalahi dan melanggar kesepakatan bersama. Oleh karena itu, pemerintah Yaman yang resmi meminta bantuan kepada Arab Saudi untuk menegakkan keadilan menjaga stabilitas negara.

Akhirnya Arab Saudi dan negara-negara Teluk melakukan penyerangan militer. Negara Aljazair dan Maroko pun bergabung dengan koalisi Arab Saudi. “Tujuan utamanya adalah memaksa kelompok Ali Abdullah Saleh tidak menganggu rezim yang sah dan kembali keperundingan,” ujarnya.

Hanya saja, kata Muhyuddin, banyak diasumsikan bahwa ini perang antar Syiah dan Suni. Sebetulnya tidak ada kaitan dengan mazhab. Yang ada adalah kekuatan serangan murni karena Ali Abdullah Saleh didongkel. Tetapi dia masih memegang peranan penting, menikmati dukungan yang kuat dari militer, kepolisian, birokrasi dan berbagai lini lainnya.

MUI, tegasnya, mendukung Arab Saudi cs menyerang kelompok Ali Abdullah, selama itu adalah upaya untuk mengembalikan stabilitas, mengamankan konstitusi dan menegakkan keadilan. Karena tidak ada masalah apa yang dilakukan oleh Arab Saudi cs adalah memaksa huti sebagai pemberontak agar jangan menganggu perintahaan yang sah. ”Dari kaca mata Islam, apabila dua kelompok bertikai. Kemudian yang satu tidak mau didamaikan, maka kita berhak untuk menggunakan kekerasan pada mereka yang tidak mau berdamai,” tukasnya.

Muhyiddin menegaskan, MUI melihat bahwa ini sebuah tren bagi kesetiakawanan umat Islam, mengingat Yaman itu Suni. Maka, Arab Saudi juga memiliki interest kepentingan menjaga agar jangan sampai Suni itu dimusnahkan oleh kelompok Syiah.

”Sebetulnya kalau dilihat dari geo politik, ini adalah pertarungan sebuah kekuasaan. Di satu sisi adalah Irak yang sudah sangat kuat dengan persenjataan nuklirnya. Sedangkan di sisi lain, Arab Saudi yang mulai bangkit ingin mengembangkan persenjataan,” tegas Muhyiddin.

Kembali ia menuturkan, bahwa perang Yaman itu tidak lepas dari permainan intelejen dunia, Amerika Serikat (AS) juga bermain. Yang disedihkan, kata Muhyiddin, bahwa yang mendapatkan keuntungan besar dari peperangan ini adalah orang-orang Yahudi, pemilik pabrik senjata, broker senjata dan sebagainya.

Karena mereka meraup keuntungan yang sangat besar. Bayangkan, tegas Muhyiddin, kalau satu pesawat tempur F-16 membawa 5 peluru. Satu peluru kendali itu harganya 50 USD. Berapa biaya satu pesawat? Kalau ada 150 pesawat dikalikan saja ”150 x 5”, satu hari mereka melalukan surving, berapa triliun yang mereka habiskan untuk perang ini.

Dari sisi ekonomi Amerika Serikat kuat. Karena dolar Amerika menguat tinggi lantaran senjata-senjata yang disimpan digudang dikeluarkan dijual. Banyaknya permintaan senjata itu, AS pun menciptakan begitu banyak lapangan pekerjaan, sehingga orang ganggur jumlahnya menurun. ”Inilah hebatnya. Di satu sisi Yahudi menikmati keuntungan, tapi di sisi lain Umat Islam yang hancur dan babak belur,” pungkas Muhyiddin.