Gaung ekonomi syariah di Indonesia beberapa tahun belakangan ini terdengar ‘nyaring’. Pemerintah pun sudah menyiapkan beragam regulasi semua produk syariah.

Sayangnya, hingga kini perangkat aturan itu belum diiringi dengan market share yang seimbang. Buktinya, pasar syariah yang tergarap di negeri yang mayoritas muslim itu baru mencapai 5 persen.
“Prosentase itu jelas tertinggal jauh dengan negeri tetangga Malaysia yang pada tahun 2013 lalu market sharenya sudah mencapai 25 persen,” kata Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Muhammad Syakir Sula, ketika menjadi pembicara pada Roadshow Seminar Asuransi Syariah Batch V di Aula Bussiness Center (ABC) Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Airlangga, Kamis (16/10).
Sekadar gambaran, di Malaysia, kata Muhammad Syakir Sula, jumlah penduduknya mencapai 28 juta jiwa, dengan komposisi 60 persen di antaranya muslim sisanya non muslim. Pesatnya pertumbuhan pasar syariah di negeri Petronas itu tidak lepas dari dukungan Pemerintah Malaysia sendiri.
“Di Malaysia, seluruh APBN nya harus melalui bank syariah,” ungkapnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan jumlah penduduk jiwa yang tembus di atas 250 juta jiwa dengan 90 persen di antaranya muslim, market share industri keuangan syariah seperti perbankan, asuransi, sukuk, reksadana, microfinance, pegadaian, dan multifinance yang rata-rata hanya mencapai 5 persen, jelas mengherankan.
Mestinya, Nusantara harus lebih unggul dibanding Malaysia. Alasannya, gema ekonomi syariah di negeri ini sudah dimulai sejak 20 tahun lalu. Bahkan Pemerintah pun sebetulnya sudah bergerak cepat dengan menyiapkan berbagai regulasi syariah. Sayangnya, hingga kini pasar syariah masih jauh dari harapan.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kata Syakir, terlihat jelas bahwa market share per Mei 2014 menunjukkan Perbankkan Syariah 4.92 persen, sementara Asuransi Syariah berada di bawahnya yakni hanya 4.25 persen. Demikian juga dengan Sukuk Korporasi syariah yang mencapai 3.17 persen, Reksa Dana Syariah juga sekitar 4.43 persen.
“Karena itu MES menargetkan dalam lima tahun kedepan market share Syariah di Indonesia bisa mencapai 15 persen,” imbuhnya.

Target tersebut menurutnya sangat realistis karena semua komponen yang dibutuhkan dalam pengembangan bisnis syariah juga sudah ada seperti dasar hukum dan kelembagaannya. Undang-undang tentang Bank Syariah, Asuransi syariah dan lainnya. Demikian juga dengan kelembagannya mulai dari perbankkan maupun non perbankan.
Yang dibutuhkan sekarang ini adalah kemauan dari pemerintah untuk mengembangkan Bisnis Syariah. Bahkan Syakir Sula menyampaikan harapan yang tinggi kepada pemerintah baru nantinya.” Ini juga menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pemerintah baru Jokowi yang akan dilantik,” tambahnya seraya menyesalkan kemajuan bisnis ekonomi syariah selama lima tahun terakhir hampir tak berbekas.
Ketua MES Jawa Timur, Dr Imron Mawardi mengatakan banyak penyebab mengapa ekonomi syariah ini belum memasyarakat. Salah satunya adalah belum adanya kesadaran umat Islam untuk menjalankan seluruh kehidupan ini sesuai syariat. Syariat baru dipahami sebatas yang berkaitan dengan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, atau ibadah haji.
Penyebab lain belum adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk membesarkan industri keuangan syariah. Memang, regulasi dan perangkat bagi industri keuangan syariah sudah dibuat. Bukan hanya itu, sosialisasi, edukasi, dan pengawasan sudah dilakukan. Namun ya itu tadi, belum tampak komitmen dari Pemerintah untuk memajukan industri keuangan syariah.
Asuransi Mikro
Salah satu untuk mendongkrak pasar ekonomi syariah di negeri ini adalah melalui produk asuransi. Banyak masyarakat beranggapan bahwa ikut asuransi apapun adalah bentuk perlawanan terhadap takdir. Karena semua kejadian atau musibah apapun di dunia ini sudah menjadi ketentuan yang di Atas. Dan kita sebagai manusia hanya punya kewajiban untuk menjalaninya.
Benarkah demikian? “Anggapan demikian jelas keliru,” tandas pria yang mengaku jebolan dari Sarjana Pertanian Jurusan Hama dan Tanaman di sebuah perguruan tinggi negeri ini.
Menurutnya, Allah melalui ajarannya yakni Islam jelas mengingatkan umatnya agar manusia melakukan ikhtiar ketika menerima musibah, baik itu kematian, kecelakaan, kebakaran dan beragam musibah lainnya. Salah satu ikhtiar itu diwujudkan dengan cara mempersiapkan hari depan.
Hal itu jelas termaktub dalam Al Quran Surat Al Hasyr : 18 yang artinya:
“Hari orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Firman Allah di atas jelas menunjukkan bahwa manusia diminta untuk mempersiapkan diri terhadap segala hal yang akan terjadi di depannya. Dan salah satu cara mempersiapkan diri itu bisa dilakukan dengan cara menabung, melalui asuransi.
Muchlasin, Direktur Direktorat IKNB Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menambahkan produk asuransi syariah yang pas ‘dijual’ di Indonesia adalah asuransi mikro, bukan makro.
Alasannnya? “Masyarakat Indonesia mayoritasnya memang muslim, tapi yang perlu diingat adalah 90 persen dari masyarakat muslim itu ada di level menengah bawah, bukan menengah atas. Kalau mereka punya duit lebih, mereka tidak akan mengasuransikan aset berharga yang dimiliki, tetapi lebih memilih untuk mengikuti asuransi yang bisa melindungi mereka dari berbagai musibah seperti kematian, kecelakaan, kebakaran dan sebagainya,” kata Muchlasin yang tampil menjadi pembicara kedua dengan materi ‘Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Keuangan Syariah Non Bank.
Asuransi mikro syariah di Indonesia didefinisikan sebagai program asuransi Syariah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sederhana fitur dan administrasinya, mudah didapat, ekonomis harganya serta segera dalam penyelesaian pemberian santunannya adalah perlindungan bagi keluarga masyarakat miskin atas risiko keuangan yang menimpa mereka seperti kematian, kecelakaan, sakit, kehilangan aset dan hari tua.

