Sistem peringatan dini tsunami Indonesia dinilai masih di bawah standar. Sirene tsunami rusak dan pelampung pengukur hilang.

April 2012, warga Banda Aceh panik, gempa 8,6 skala Richter meletus di Samudera Hindia, ribuan warga mencoba menyelamatkan diri dengan berjalan kaki, naik mobil, dan sepeda motor, memacetkan jalanan. Kelamnya tsunami 28 Desember 2004 yang menewaskan setidaknya 226 ribu orang membayang, itulah pemicu utama panik. Namun, peringatan tsunami hanya berupa ‘ketakutan warga’, tidak ada sirene berbunyi dan tsunami tidak terjadi.
Jika tsunami terjadi pada April 2012, kerusakan diperkirakan akan lebih besar dibanding sepuluh, dikatakan Harkunti Rahayu, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) seperti dilansir Reuters (24/12).
Sejak bencana gempa dan tsunami di Asia pada 2004, sistem peringatan dini yang canggih telah dibangun di 28 negara terkait dengan biaya lebih dari USD400 juta, termasuk di Indonesia.
Di Samudera Hindia, dengan bantuan negara maju dan UNESCO, 101 alat pengukur permukaan laut, 148 seismometer dan sembilan pelampung dibangun. Sistem ini dapat mengirim peringatan ke pusat-pusat peringatan tsunami negara terkait dalam waktu 10 menit dari gempa.
Di Indonesia, Jerman mendanai jaringan pelampung untuk sistem peringatan dini tersebut. Namun dikabarkan kini tidak dipakai lagi. Selain mahal biaya operasionalnya, dinilai juga tidak efektif memeringati.
Bahkan, satu dari sembilan pelampung Indonesia yang dioperasikan telah hilang atau rusak oleh nelayan, kata Velly Asvaliantina, pejabat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pada 2012 ketika gempa terjadi lagi, dilaporkan hanya tiga dari 25 pelampung yang masih beroperasi. Nelayan lokal dituding sebagai penyebabnya karena kerap menambatkan jangkar perahunya ke pelampung tersebut.
Sirene Rusak, Siapa Bertanggung Jawab?
Bukan hanya pelampung itu, sejak 2004 pemerintah Indonesia juga telah membangun sekitar 50 unit sirene peringatan tsunami di seluruh daerah rawan Indonesia, termasuk di Aceh. Namun, dari dilansir dari Mongabay.co.id, warga Aceh menilai sirene tidak berbunyi. “Dua kali siene bermasalah, pertama Juni 2007, tiba-tiba sirene berbunyi keras padahal tidak terjadi gempa”, kata Sugiarto, warga Aceh yang tinggal di dekat sirene. Pada April 2012 ketika gempa terjadi lagi, sirene malah tidak berbunyi sama sekali.
Saat itu, sirene yang berbunyi hanya di sekitar kantor Gubernur Aceh. Itupun berbunyi setelah petugas menyalakannya manual.
Siapa bertanggung jawab atas sirene dan pelampung yang rusak? Dari Reuters dilaporkan, Pemerintah Provinsi Aceh menolak untuk mengecek dan mengelola sirene tiap bulan. Dikatakan Mochammad Riyadi, Kepala Gempa Bumi dan Tsunami Badan Pusat Meteorologi dan Geofisika (BMKG), alasannya Pemerintah Provinsi tidak memiliki sumber daya manusia untuk itu. Jika tanggung jawabnya diberikan ke Pemprov, BMKG harus menyiapkan sumber daya manusianya.
Diselamatkan oleh Keberuntungan
Standar sistem peringatan dini di Indonesia masih di bawah par, menurut Jonathan Lassa, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura. “Kejadian 2012 itu menunjukkan orang tidak memercayai sistem peringatan. Penduduk iselamatkan oleh kebetulan, tsunami tidak terjadi, dan bukan oleh sistem peringatan,” kata Jonathan Lassa

