Kepemilikan investor asing di surat berharga tercatat telah mencapai 37 persen.

Artinya, lanjut dia, dalam jangka pendek harus mengupayakan kepemilikan asing turun melalui mekanisme pasar dengan adanya investor domestik yang besar dan kuat. “Kami berharap ke depannya peran investor domestik besar, sehingga tidak kuatir dengan penambahan utang. Jika porsinya didominasi oleh investor domestik, maka setidaknya bisa seperti Jepang yang kepemilikan asingnya hanya 9 persen,” jelas Bambang.
Bambang menegaskan dalam anggaran pemerintah, pengeluaran negara tidak hanya harus berkualitas, namun juga sumbernya sebaiknya berasal dari masyarakat. Sumber pendanaan ini tidak hanya berasal dari pajak, tetapi juga penerbitan surat utang dengan dominasi investor domestik. “Suatu saat kami ingin punya APBN dari rakyat dan untuk rakyat jadi akuntabilitas juga semakin kuat,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, menuturkan langkah pengurangan kepemilikan asing melalui mekanisme pasar bukan berarti pemerintah membuat regulasi yang melarang atau mengambil alih kepemilikan asing. “Namun, caranya kami akan coba pendalaman pasar apakah ada yang bisa dilakukan supaya investor domestik lebih tertarik membeli surat berharga negara,” cetusnya.
Ia mengungkapkan instrumen investasi seperti obligasi ritel (ORI) dan sukuk ritel (Sukri) sudah pasti adalah investor domestik, karena itu pihaknya akan memperbesar porsi ORI dan Sukri. Selain itu, Kemenkeu juga akan mengembangkan instrumen ritel lainnya untuk menjadi salah satu opsi kebijakan yang mungkin dilakukan dalam rangka menambah investor domestik. “Rencananya pada 2016 ada empat penerbitan ritel, yaitu ORI, Sukri, saving bond ritel, dan sukuk tabungan,” pungkas Robert. Penawaran Sukri akan dilaksanakan pada kuartal I 2016, sedangkan sukuk tabungan pada kuartal III

