Oleh: Muhammad Gunawan Yasni
Anggota Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Urgensi diperlukannya pemodal baru di Bank Umum Syariah (BUS) memerlukan perhatian dan sinergi khusus antara manajemen BUS dan manajemen bank induk dari BUS yang notabene adalah bank konvensional. Hal-hal yang mendesak diperlukannya tambahan modal atas BUS antara lain adalah:
- Batasan minimum Rasio Kecukupan Modal / Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 8% telah secara pasti didekati oleh sebagian besar BUS yang aktif dalam kegiatan pembiayaan sektor riil mengingat Financing to Deposit Ratio (FDR) BUS secara institusi dan industri lebih baik dari Loan to Deposit Ratio (LDR) dari sebagian besar bank konvensional;
- Dipastikannya pemegang saham baru di BUS dapat mencapai maksimal 30% kepemilikan;
- Keinginan Bank Sentral untuk mengatur bahwa BUS yang mencapai lapis / tier 1 permodalan / capital sebesar minimum Rp 1 T otomatis menjadi bank devisa;
- Pentargetan Bank Sentral untuk mengatur Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (Biaya Operasional / Pendapatan Operasional – BO/PO) BUS sebesar 85% yang akan dikaitkan dengan perijinan pembukaan cabang-cabang di daerah-daerah.

Strategi permodalan BUS sebaiknya diarahkan kepada dua hal utama yaitu:
- Penawaran Umum / Initial Public Offering (IPO) Saham yang dilanjutkan melalui mekanisme bursa efek syariah;
- Penawaran Khusus / Private Placement Saham dengan harga saham sesuai kesepakatan.
Kedua hal ini menyiratkan adanya potensi mendapatkan agio saham untuk lebih banyak memperoleh modal bagi BUS tanpa harus menambah porsi kepemilikan pemegang saham baru lebih dari maksimal kepemilikan 30%.
Kedua hal utama dalam strategi permodalan BUS tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penawaran Umum / Initial Public Offering (IPO) Saham yang dilanjutkan melalui mekanisme bursa efek syariah tentu mempunyai risiko terhadap naik turunnya harga saham BUS bergantung persepsi pasar atas BUS tersebut. Sementara Penawaran Khusus / Private Placement Saham dengan harga saham sesuai kesepakatan tidak serta merta menjadikan harga saham BUS cukup fair sesuai persepsi pasar walaupun pemegang saham pendiri dapat menseleksi calon pemegang saham baru yang memenuhi ketentuan dan keinginannya sesuai dengan arah kebijakannya atas BUS.
Perbankan syariah Indonesia dianggap sangat menarik oleh investor dari Timur Tengah dan Eropa. Bahkan keuangan syariah di Indonesia pada awalnya digeliatkan dengan iming-iming untuk memasukkan dana-dana dari Timur Tengah. Saatnya BUS dipertimbangkan oleh induk bank konvensionalnya untuk memasuki era dimungkinkannya pemegang saham minoritas maksimal 30% untuk lebih memacu strategi permodalan BUS yang mampu menumbuhkembangkan industri perbankan syariah ke depan. Mungkin diperlukan upaya-upaya menghimbau induk bank konvensional BUS oleh Bank Sentral ataupun Otoritas Jasa Keuangan agar pencapaian pangsa pasar perbankan syariah terhadap total perbankan dapat disesuaikan bahkan lebih baik dari target-target yang belum tercapai selama ini.
Dalam beberapa kesempatan lawatan di Eropa dan Timur Tengah, pemrakarsa berdirinya lembaga-lembaga keuangan Islam semisal para pendiri Islamic Bank of Britain beberapa kali mengungkapkan keinginan untuk memiliki sebagian saham BUS di Indonesia. Mereka bersedia masuk dengan bahkan menggunakan nominees perusahaan atau individu Indonesia. Saatnya BUS di Indonesia mendunia melalui strategi permodalan yang berdampak kepada tersedianya jaringan kerja internasional bagi BUS.
