Mabid Ali Al Jarhi

Tekan Biaya Akad Bagi Hasil Dengan Penggabungan Akad

[sc name="adsensepostbottom"]

Acapkali bank syariah beralasan enggan memakai akad bagi hasil karena biaya dan risiko yang dinilai lebih tinggi. Padahal, dengan memadukan berbagai akad syariah yang telah tersedia dapat membantu menekan biaya dan risiko yang mungkin dihadapi.

Tekan Biaya Akad Bagi Hasil Dengan Penggabungan Akad
Mabid Ali Al Jarhi. Foto istimewa

Profesor Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Hamad Bin Khalifa Doha Qatar, Mabid Ali Al Jarhi, menuturkan ketika biaya (cost) suatu penyaluran pembiayaan ke nasabah semakin meningkat, maka gabungkan saja akad mudharabah atau wakala dengan musyarakah sehingga biaya bisa ditekan. “Mix and match kontrak bisa menjadi metode efektif untuk membentuk aset berkualitas,” ujarnya. Baca Juga: Bank Syariah Selektif Terapkan Akad Bagi Hasil

Al Jarhi memaparkan dengan menggabungkan mudharabah atau wakala dengan musyarakah, maka akan mengurangi informasi asimetri dan risiko. Risiko masyarakat juga bisa dimitigasi dengan menggabungkannya dengan akad ijarah. Ia menambahkan penerapan 11 dari 15 akad yang dikenal dalam keuangan syariah mengharuskan adanya informasi yang simetris.

“Akad mudharabah dan wakalah bisa mengarah pada informasi asimetris, tapi dengan menggabungkannya ke musyarakah maka akan menciptakan monitoring yang lebih kuat dan murah. Inovasi bisa datang dari mix and match 15 kontrak, sehingga bisa membuat struktur produk baru atau dengan memperkenalkan akad baru,” jelas Al Jarhi.

Ia menambahkan bank syariah memang tidak bisa memberikan jaminan bagi hasil yang tetap, sehingga di sanalah bisa menimbulkan potensi moral hazard. Oleh karena itu, harus ada mitigasi risiko. “Adanya underlying aset dalam keuangan syariah adalah suatu bentuk mitigasi risiko,” kata Al Jarhi. Baca Juga: Mitigasi Risiko Lembaga Keuangan Syariah

Di Indonesia pembiayaan berakad murabahah masih mendominasi sekitar 60 persen dari total pembiayaan Rp 187,8 triliun. Pembiayaan murabahah tercatat mencapai Rp 112,2 triliun. Diikuti oleh pembiayaan musyarakah (Rp 42,8 triliun), mudharabah (13,8 triliun), ijarah (Rp 10,3 triliun), qardh (Rp 8 triliun), dan istishna (Rp 588 miliar).