Keadilan harus menjadi kata pertama untuk mendukung pertumbuhan Indonesia.

Dalam Diskusi Publik Dompet Dhuafa yang membahas permasalahan perekonomian Indonesia, Rabu (10/2), Akademisi Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf memaparkan setidaknya masih ada empat masalah pokok terkait sosial ekonomi Indonesia. Apa saja?
Pertama, angka kemiskinan di Indonesia yang menurun, tapi melambat. Jumlah warga miskin di Indonesia masih berjumlah 76 juta jiwa. Kedua, terkait kualitas pendidikan yang belum merata. “20 persen anggaran negara untuk pendidikan belum diterjemahkan menjadi pendidikan yang berkualitas dan merata,” tukas Arief.
Ketiga, status kesehatan yang masih rendah. Keempat, ketimpangan yang semakin mengarah menjadi cukup serius. “Indonesia terindikasi memiliki angka Rasio Gini tertinggi di ASEAN dan perubahannya di negara berkembang paling cepat,” ujarnya. Bank Dunia mencatat ketimpangan antara orang kaya dan miskin meningkat dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,41 pada 2014, sedangkan pada 2015 melebar menjadi 0,42.
Menurut Arief, solusi yang paling penting untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengubah paradigma bahwa perekonomian harus tumbuh dulu baru merata. Padahal, lanjutnya, bukti empiris menyatakan negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi bukanlah negara yang punya nilai investasi dan modal besar, tapi yang inovasinya tinggi.
“Coba bayangkan inovasi muncul dari mana? Ketimpangan kualitas SDM yang menjadi masalah karena itu yang harus dilakukan adalah pemerataan kesempatan. Kita tidak bisa memilih dimana kita dilahirkan jadi pendidikan dan kesehatan harus disamakan dulu. Ketimpangan boleh ada tapi itu murni karena effort, tapi kalau pemberian kesempatan itu harus merata,” pungkas Arief.
[bctt tweet=”Ketimpangan ekonomi meningkat dari 0,30 (2000) menjadi 0,41 (2014), melebar menjadi 0,42 (2015)”]

