Sistem Moneter Berbasis Emas, Solusi Tepat Mengatasi Krisis Rupiah

[sc name="adsensepostbottom"]

Sistem moneter berbasis emas bisa menjadikan sektor keuangan dan moneter kembali melekat erat pada sektor riil yang disimbolinya, sehingga ekonomi menjadi stabil.

EmasDalam Seminar Internasional bertajuk “Mengembalikan Dinar dan Dirham sebagai Mata Uang Syariah dalam Perjuangan untuk Menyelematkan Perekonomian Global” pada hari ini, Rabu (11/3/2015) di Gedung Pasca Sarjana Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ), Ciputat, Tangerang Selatan.

Terungkap wacana untuk menjadikan mata uang dinar dan dirham sebagai sistem moneter nasional guna menggantikan mata uang kertas rupiah yang sudah terbukti selama ini selalu rapuh dan sangat rentan terhadap dollar AS. Hal yang terjadi juga pada saat ini dimana nilai tukar dollar AS terhadap rupiah sudah sampai menembus angka Rp. 13.200. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) – Prof. Dr. Bambang Sudibyo MBA, yang juga Ketua Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, mencoba membedah wacana diatas.

Dalam paparannya pada  seminar ini, Bambang Sudibyo mengungkapkan pangkal dari perekonomian dunia yang rentan krisis seperti kondisi pada saat ini adalah dampak dari Nixon Sock. “Dampak dari Nixon Sock pada perekonomian global adalah perekonomian dunia menjadi tidak stabil dan mudah sekali mengalami krisis. Lalu krisis ekonomi selalu dimulai dari sektor keuangan,” jelas Bambang.

Menurut Bambang, AS sangat diuntungkan karena USD menjadi devisa dunia, sehingga AS memiliki kebebasan penuh melalukan quantitative easing, yang esensinya adalah perampokan nilai ekonomi dari semua pemilik USD, baik orang maupun Negara melalui pencetakkan uang kertas.

“Saat ini terjadi anomali, selama krisis keuangan dan fiscal 2008, sekarang dimana AS rajin mencetak uang kertasnya, tetapi USD justru terus menguat terhadap mata uang manapun. Arsitektur keuangan menjadi rapuh dan tidak berkeadilan!” demikian tegas Bambang.

Dalam kaitan pencarian solusi terhadap krisis mata uang kertas rupiah di Indonesia terhadap dollar AS, Bambang menanggapi positif wacana sistem moneter berbasis emas.

Namun Bambang Sudibyo mengakui, bahwa untuk menjadikan arsitektur keuangan dikembalikan pada basis emas adalah sangat sulit, karena IMF melarang anggotanya mengkaitkan mata uangnya dengan basis emas. Lalu kesulitan berikutnya adalah cadangan emas yang ada juga terbatas.

“Yang lebih realistis barangkali adalah arsitektur berbasis portofolio sejumlah mata uang kuat dan stabil berbasis emas, misalnya USD, Euro, Yuan dan Yen yang semuanya harus berbasis emas. Karena ini akan mendorong mata uang lain mengikuti berbasis emas dalam jangka panjang,” papar Bambang.

Langkah lain yang perlu dilakukan, menurut Bambang adalah Bank Indonesia (BI) memperbesar cadangan emasnya dan memperkaya ragam devisa dalam bentuk portofolio mata uang kuat. Berikutnya menurut Bambang adalah, BI mengawasi dan mengendalikan PT Antam dalam penerbitan uang emas dan perak, dimana sertifikat akan lebih kredibel kalau yang menerbitkan BI. “Selain itu, BI juga memperluas penggunaan emas dan perak,” ujar Bambang lagi.

Dengan melakukan hal di atas, maka menurut Bambang, diharapkan sistem moneter berbasis emas menghilangkan bubles yang besar-besaran dan meredakan inflasi. Lalu fundamen ekonomi global menjadi lebih solid. “Sektor keuangan dan moneter kembali melekat erat pada sektor riil yang disimbolinya, sehingga ekonomi menjadi stabil,” lanjut Bambang.

Selain itu, lanjut Bambang, langkah diatas diharapkan bisa menurunkan premi resiko dan karenanya juga spread perbankan. “Jika diimbangi dengan pengendalian inflasi yang sukses di sektor riil, terutama melalui stabilisasi harga pangan dan energi, serta perbaikan infrastruktur, maka cost of fund akan turun dengan signifikan. Sehingga perekonomian pun menjadi investment friendly, dan kemudian pengangguran dan kemiskinan pun jauh lebih mudah untuk diatasi,” demikian harap Bambang Sudibyo.