Praktik keuangan Islam menandai keberpihakannya pada stabilitas keuangan dan pembangunan ekonomi yang berkualitas, yang ditandai dengan penggunaan konsep pembagian risiko, dorongan untuk tidak melakukan utang berlebihan, penekanan pada kegiatan investasi etis, dan preferensi khusus syariah lainnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) – Agus D.W. Martowardojo dalam Seminar Internasional IFSB “Meningkatkan Keuangan Inklusif melalui Keuangan Islam” baru-baru di Jakarta, mengungkapkan respek yang tinggi dari pihak bank sentral (BI) terhadap penerapan praktik keuangan Islam di tanah air.
“Keuangan Islam dengan aplikasi keuangan berbasis ekuitas dan produk keuangan mikro yang lebih luas, dapat memfasilitasi jangkauan yang lebih luas terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong kegiatan kewirausahaan dan penciptaan nilai,” demikian ujar Agus saat memberikan sambutan utama pada seminar ini.
Menurut Agus, secara konseptual, akses yang lebih luas terhadap jasa keuangan dapat diberikan oleh lembaga keuangan Islam berbasis komersial seperti bank-bank Islam yang memberikan produk keuangan mikro atau takaful mikro yang diberikan oleh lembaga takaful.
“Langkah-langkah lain dapat dirumuskan seperti mengintegrasikan sektor komersial dengan sektor sosial Islam, agar dapat menghasilkan jasa keuangan yang dapat dijangkau oleh pelaku wirausaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah pada
umumnya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui berbagai kendaraan seperti optimalisasi dana waqaf, program pemberian zakat inovatif yang berkontribusi terhadap inisiatif penciptaan lapangan kerja, dan program penanggulangan kemiskinan,” papar Agus lagi.
Lebih jauh menurut Agus, secara konseptual, praktik keuangan Islam menandai keberpihakannya pada stabilitas keuangan dan pembangunan ekonomi berkualitas, yang ditandai dengan penggunaan konsep pembagian risiko, dorongan untuk tidak melakukan utang berlebihan, penekanan pada kegiatan investasi etis, dan preferensi khusus syariah lainnya.
“Penekanan pada investasi berbasis ekuitas menyoroti pentingnya memperkuat hubungan dasar antara sektor keuangan dan ekonomi riil,” tegas Agus.
Agus lalu menekankan, bahwa perkembangan sektor keuangan Islam dapat mengurangi ketergantungan berlebihan pada pembiayaan utang dan spekulasi berlebihan.
“Setelah mengamati krisis ekonomi di masa lalu, jelas bahwa pembiayaan utang dan spekulasi berlebihan berkontribusi signifikan pada kerentanan sistem keuangan. Terkait dengan formulasi preferensi publik, prinsip pelarangan utang berlebihan dapat berfungsi sebagai media pendidikan publik yang dapat menciptakan dampak positif terhadap moderasi permintaan agrega; dan kondisi makro ekonomi yang lebih stabil,” tegas Agus.
Agus berpendapat, penerapan prinsip pembagian risiko dapat memberikan gravitasi lebih tinggi terhadap kemitraan dalam masyarakat, daripada menciptakan hubungan pemberi pinjaman peminjam.
“Di samping kebutuhan untuk memiliki lingkungan yang mendukung demi mendorong pasar yang lebih simetris, penerapan konsep berbagi dapat menimbulkan potensi untuk memperkuat hubungan antara sektor keuangan dan ekonomi riil yang mendasarkan kontrak keuangan pada penciptaan nilai dan kelayakan usaha. Setelah transparansi dan tata kelola terbentuk untuk memungkinkan kemitraan yang lebih baik, penciptaan rekayasa keuangan yang berlebihan dapat diminimalkan karena kegiatan keuangan akan berfokus pada nilai tambah intrinsik yang ditawarkan dalam kontrak keuangan,” papar Agus lagi.
Agus melanjutkan, dari perspektif tata kelola, konsep pembagian risiko memperkuat insentif kepada lembaga keuangan untuk melakukan uji tuntas yang sesuai untuk transaksi keuangan, yang memastikan agar laba yang diharapkan bisa sepadan dengan pengambilan risikonya.
“Didukung dengan sistem informasi dan pelaporan yang sehat, kontrak pembagian risiko membuka peluang bagi pelaku wirausaha dan pemodal untuk memantau dan menghitung nilai instrinsik transaksi keuangan, yang tercermin oleh laba yang diharapkan, arus kas, risiko yang terlibat, dan faktor lain yang mempengaruhi proyek,” tandas Agus.
Menurut Agus, konsep ini mendorong disiplin dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap semua pihak yang berkontrak untuk memastikan keberhasilannya.
“Kombinasi tata kelola yang baik, transparansi yang lebih tinggi, dan pengelolaan risiko yang dirancang baik, akan membentuk hubungan berdasarkan kepercayaan yang penting untuk mewujudkan proses intermediasi yang efisien,” demikian tutup Agus D.W. Martowardojo – Gubernur BI.

