Akademisi IPMI Jimmy Rifai Gani (kedua dari kiri) dalam FGD Menelisik Keengganan UMKM Bankable Mengakses Dana Perbankan, Senin (15/6).

Ini Alasan UKM Enggan Akses Dana Perbankan

[sc name="adsensepostbottom"]

Dalam salah satu survei pada ribuan usaha mikro, kecil dan menengah di enam kota terungkap bahwa baru 30 persen yang menggunakan jasa perbankan.

Akademisi IPMI Jimmy Rifai Gani (kedua dari kiri) dalam FGD Menelisik Keengganan UMKM Bankable Mengakses Dana Perbankan, Senin (15/6).
Akademisi IPMI Jimmy Rifai Gani (kedua dari kiri) dalam FGD Menelisik Keengganan UMKM Bankable Mengakses Dana Perbankan, Senin (15/6).

Rendahnya akses masyarakat terhadap lembaga keuangan formal mencakup pula pada akses pembiayaan utamanya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Mengutip survei yang dilakukan oleh MARS, Akademisi Institut Pengembangan Manajemen Indonesia Jimmy Rifai Gani, mengatakan dari survei kepada 10.333 UMKM di enam kota, yaitu Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan hanya 30 persen yang menggunakan jasa perbankan, sisanya tidak. Sementara, sebagai perbandingan berdasar data bank sentral Eropa ada 57 persen UMKM di kawasan tersebut yang memakai jasa perbankan.

“Alasan mengapa tidak pilih bank? Pertama, bunganya tinggi (26,7 persen), prosesnya berbelit-belit 23,4 persen, harus ada agunan 17,8 persen, persyaratan rumit 10,9 persen dan belum perlu bank karena masih bisa mendanai sendiri 10,9 persen,” ujar Jimmy dalam Focus Group Discussion Menelisik Keengganan UMKM Bankable Mengakses Dana Perbankan di Gedung IPMI International Business School, Senin (15/6).

Ia menambahkan ada tiga pertimbangan utama bagi UMKM dalam memilih masuk ke bank, yaitu suku bunga (71 persen), proses pencairan dana (38,8 persen) dan persyaratan mudah. “Dari besaran kredit yang digunakan oleh UMKM sekitar 68 persen UMKM hanya meminjam Rp 10 sampai Rp 50 juta. Yang dibawah nilai itu ada 32 persen,” kata Jimmy.

Jimmy menuturkan yang menjadi permasalahan bagi UMKM yang bankable adalah bunga yang tinggi. “Bayangkan kalau bunga diatas 20 persen, maka perusahaan harus menghasilkan nett profit 20 persen, sementara kalau bicarakan nett profit margin kalau dapat 2-3 persen saja itu sudah luar biasa bagus, maka harus dipikirkan agar kesenjangan antara profit margin yang begitu tipis dengan harga permodalan yang tinggi bisa diatasi.

Ia mengatakan negara tetangga memiliki suku bunga yang lebih rendah, seperti Tiongkok di bawah 10 persen, namun di Indonesia bisa sampai 18 persen. “Pada akhirnya yang terjadi pelaku usaha apapun harus mentransfer biaya yang tinggi kepada konsumen, sementara konsumen punya pilihan,” kata Jimmy. Di sisi lain, perbankan pun harus dapat mempermudah akses karena pelaku usaha UMKM tidak ingin yang rumit dan proses yang susah.

Sementara, Kepala Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Yunita Resmi Sari, mengatakan berdasar survei BI, UMKM mengandalkan teman dan keluarga sebagai sumber dana eksternal. Namun, kalaupun harus meminjam maka lembaga keuangan menjadi pilihan utama. “Mengapa UMKM enggan (menjadikan bank sebagai andalan utama)? Ada stigma kurang positif dalam berhubungan dengan bank,” ujar Yunita. Berdasar survei BI, mayoritas UMKM (82,7 persen) memulai usaha dengan menggunakan modal sendiri.

Berdasar data Bank Dunia, orang dewasa di Indonesia yang punya akun di lembaga keuangan formal masih sekitar 36 persen. Di lain pihak, Yunita menuturkan hal yang lebih menarik lagi adalah orang dewasa yang meminjam dan melakukan peminjaman kembali ada 56 persen. “Jadi yang meminjam kembali adalah yang sudah punya pengalaman dengan bank,” tukas Yunita.

Di sisi lain, ia mengakui perlu upaya lebih agar UMKM mengakses pembiayaan perbankan untuk pertama kalinya. Yunita mengutarakan adanya kesenjangan antara UMKM dan bank. Di sisi UMKM, perlu adanya peningkatan kapasitas dan eligibilitas, sedangkan dari sisi bank harus melakukan penyesuaian termasuk penyesuaian kebutuhan dengan UMKM. “Memang ada ketentuan baku yang tidak bisa ditawar tapi ada beberapa hal lain yang bisa masuk ke UMKM, misalnya produknya disesuaikan dengan jaminan dan jangka waktu yang bervariasi,” kata Yunita.

Per Maret 2015 pembiayaan UMKM di Indonesia mencapai Rp 747 triliun dengan share 20 persen dan pertumbuhan 14,7 persen, sedangkan pembiayaan non UMKM sebesar 2882,5 triliun dengan pertumbuhan 10 persen. “Pertumbuhan UMKM yang masih tinggi dari non UMKM berarti masih ada ekspansi dari UMKM dan membuktikan UMKM masih tahan banting dari krisis,” ujar Yunita. Jumlah nasabah UMKM tercatat sebanyak 11,2 juta rekening.