Salah satu kritik terhadap pembiayaan UMKM dan Koperasi yang ada selama ini adalah tiadanya landing model. Pada hal jika landing model itu diberlakukan oleh lembaga perbankan, maka akan sangat membantu sekali kepada UMKM dalam meningkatkan kapasitas bisnisnya.

Menurut Choirul Djamhari, landing model selama ini sering dibicarakan di Bank Indonesia (BI) terkait dengan format pembiayaan perbankan dengan UMKM. Dengan adanya landing model maka akan terbentuk skim-skim pembiayaan perbankan yang variatif yang sesuai dengan kebutuhan dari UMKM.
“Sayang sekali, kebijakan ini hingga sekarang belum tersosialisasikan sama sekali. Sehingga landing model tersebut belum bisa digunakan oleh bank dalam kebijakannya dalam menyalurkan pembiayaan,”lanjut Choirul Djamhari lagi.
Untuk itu kata, Choirul Djamhari, dalam cetak biru pembiayaan UMKM dan koperasi, juga akan merekomendasikan perlunya landing modal bagi UMKM. Sehingga kedepan dalam pembiayaan antara perbankan dan UMKM bukan sekedar modal kerja saja. Tapi modal kerja yang terdiri dari berbagai skim pembiayaan UMKM yang bisa terukur aspek bisnisnya. “Sehingga manfaat modal kerja bisa digunakan sesuai dengan tepat sasaran,” tegas Choirul Djamhari.
Sementara Kepala Ekonomi BNI Ryan Kiryanto, sependapat dengan perlunya landing model UMKM. Apalagi BI sudah menyiapkan konsep tersebut. Tinggal bagaimana konsep tersebut bisa di aplikasikan ke perbankan. Ryan mencontohkan dalam pembiayaan kelapa sawit diperlukan masa lima tahun, maka diperlukan grace period (kelonggaran waktu) dalam anggsuran pembiayaan pada bunga. Dimana untuk masa 1 hingga 4 tahun pihak debitur peminjam hanya dikenakan anggsuran pembayaran pokok saja namun untuk tahun kelima pada masa pohon sawit berbuah baru dikenakan bunga atau margin pembiayaan.
“Landing model seperti inilah yang perlu dilakukan untuk skim-skim pembiayaan termasuk UMKM. Saya rasa pihak bank memilki kemampuan juga dalam membuat landing model,” ujar Ryan Kiryanto – Kepala Ekonomi BNI.

