Muktamar NU Bahas BPJS Kesehatan

[sc name="adsensepostbottom"]

Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan jaminan sosail kesehatan boleh diterapkan dengan prinsip syirkah ta’awuniyah atau tolong-menolong.

ilustaris bpjsSidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah (masalah kekinian) Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU), juga membahas hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang saat ini menjadi polemik di masyarakat.

Ketua Komisi Fatwa MUI, yang juga Pengurus Besar NU, KH Ma’ruf Amin mengatakan, jaminan sosial yang dikelola pemerintah melalui BPJS Kesehatan bisa diterapkan asal memenuhi ketentuan syariah.

Saat ini, menurut Ma’ruf. BPJS Kesehatan belum memenuhi ketentuan syariah, baik secara prosedural maupun substansial. Secara prosedur harus ada pernyataan kesesuaian syariah dari DSN, itu ketentuan undang-undang dan secara substansi harus sesuai dengan ketentuan syariah. “Nah, BPJS Kesehatan tidak mengajukan untuk meminta fatwa atau opini kesyariahan ke DSN,” kata Ma’ruf, dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah di Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8).

Menurutnya, sebuah produk keuangan syariah, harus memenuhi sejumlah syarat yaitu tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (penipuan) dan riba (bunga). Secara substansi, kata dia, BPJS Kesehatan tidak jelas akadnya dan tidak jelas status dana atau premi yang terkumpul.

“Tidak jelas uang yang dikumpulkan dari siapa, kalau rugi siapa yang menanggung., dan dimana uang dikumpulkan itu didepositokan. Ternyata di bank konvensional, sehingga mengandung riba,” tukasnya.

Namun demikian, kata Ma’ruf, demi pencapaian hajat orang banyak ((lil-hajah) untuk sementara hukumnya boleh. Cuma diharapkan pemerintah tetap membuat jaminan sosial kesehatan serupa yang menggunakan sistem syariah. “Bukan berarti menganti BPJS yang sudah ada, tapi bisa diubah sistemnya,” tegas Ma’ruf.

Dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Muktamar NU ke 33 di Jombang memutuskan jaminan sosial tersebut boleh diterapkan dengan memegang prinsip syirkah ta’awuniyah atau perkumpulan yang saling tolong- menolong dalam buku Islam.

Keputusan sidang tersebut menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan dianggap mengandung nilai tolong-menolong antar masyarakat yang sehat dan yang sakit maupun yang kaya dan miskin. Prinsip ini berbeda dengan asuransi konvensional yang hanya menangung peserta yang tertib membayar premi.

Menanggapi rekomendasi Komisi Bahtsul Masail, Ma’ruf menyatakan, bahwa keputusan itu belum mengikat karena belum diplenokan kepada semua peserta muktamar. “Ya kita tunggu hasil pleno,” ujarnya.

Lantaran kata Ma;ruf, hukumnya boleh atau mubah. Yang diperdebatkan peseta sidang adalah pada masalah di mana uang yang dikumpulkan penyetor iuran BPJS Kesehatan diinvestasikan. Karena kalau di bank konvensional, sebagian peserta sidang berpendapat haram.

Sementara itu, Ketua Lembaga Kesehatan PBNU Imam Rosyidi mengakui bahwa dana BPJS Kesehatan yang terkumpul dari masyarakat disimpan di bank konvensional. ”Hingga saat ini, terkumpul dana iuran BPJS Kesehatan Rp 147 triliun disimpan di bank konvensional, dan memang rawan diselewengkan, tapi faktanya tidak,” kata Imam.

Lebih lanjut Imam menjelaskan, yang perlu dicatat BPJS Kesehatan berbeda dengan asuransi kesehatan swasta yang mengambil keuntungan dari iuran nasabahnya. Berdasarkan catatan yang diperoleh, BPJS Kesehatan merupakan program yang tidak mengambil keuntungan, yakni asuransi atau jaminan sosial nirlaba. ”Sesuai yang disampaikan Kiai Ma’ruf, sementara tidak apa-apa sebelum produk syariah ada,” paparnya.