Isu mengenai kesesuaian BPJS Kesehatan dengan prinsip syariah telah mengemuka. Bagaimana dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Isu mengenai BPJS Ketenagakerjaan Syariah pun dilemparkan oleh Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (IKNB OJK) Edy Setiadi, dalam Seminar Menyikapi Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan yang digelar oleh Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, akhir pekan lalu.
“Jangan sampai bahas BPJS Kesehatan saja. Di sisi lain yang di BPJS Ketenagakerjaan malah lupa, yang investasinya bisa ribuan triliun itu nanti gimana dananya juga bisa dialihkan ke instrumen keuangan syariah,” cetus Edy di Gedung IASTH UI, Salemba, Jakarta. Baca: Pengelolaan BPJS Kesehatan Tidak Sesuai Prinsip Syariah
Edy mengutarakan jika ada dana besar yang dilimpahkan dan ditempatkan di lembaga keuangan syariah, maka hal tersebut dinilai akan dapat memperbesar industri keuangan syariah. “BPJS bisa menghimpun Rp 5,7 triliun sebulan, berarti dalam setahun Rp 70 triliun dan kalau itu ditaruh di bank syariah akan bisa menambah aset sekitar 30 persen,” ungkap Edy.
Pada kesempatan yang sama, Akademisi UI Buddi Wibowo, memaparkan sebagian besar investasi BPJS Ketenagakerjaan ditempatkan di obligasi (40 persen) dan 27 persen di deposito. “Keduanya jelas bersinggungan dengan bunga atau riba, jadi sudah pasti haram,” tukas Buddi. Baca: Menyikapi Fatwa Haram BPJS
Walaupun demikian, ia tak menampik jumlah sukuk sebagai instrumen investasi masih relatif sedikit dan kapasitas bank syariah untuk menampung dana pun relatif terbatas, sehingga sarana penempatan investasi ini perlu dikaji bagaimana agar sesuai syar’i. “Di sisi instumen investasi syariah mungkin belum sanggup menampung kapasitas BPJS, karena kapasitas bank syariah juga masih kecil. Jadi saat ini bagaimana mengamankan investasi BPJS secara syar’i,” pungkas Buddi.

