PERADI Pertanyakan Advokat Harus Halal

[sc name="adsensepostbottom"]

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah sembrono menetapkan jasa hukum yang diberikan advokat harus bersertifikasi halal. Lalu bagaimana mengukur halal dan tidaknya jasa hukum?

peradi2 Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah, menyatakan, jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau konsultan hukum termasuk produk jasa yang wajib bersertifikasi halal.

Menurut Ikhsan, ini sejalan dengan UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun demikian, pernyataan Ikhsan belum bisa dikatakan sebagai sikap MUI. Lantaran di internal MUI masih mencuat silang pendapat terkait produk jasa hukum wajib bersertifikasi halal.

Meskipun belum menjadi sikap resmi MUI, pernyataan Ikhsan kadung menuai kritik dari kalangan advokat. Adalah Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERARI) kepengurusan Juniver Gingsang, Hasanuddin Nasution, menilai sikap MUI sangat semboro, ketika menetapkan jasa hukum harus bersertifikasi halal.

Hasanuddin tidak habis pikir saat membayangkan ketika jasa hukum yang diberikan harus diukur dari aspek halal dan tidak halal. “Menurut saya, MUI jangan sembrono menempatkan bahwa bisa mengukur jasa hukum. Bagaimana mengukur jasa advokad ketika berperkara di pengadilan, lalu kemudian itu di-certified menjadi halal atau tidak halal?,” kata Hasanuddin, seperti dilansir dari hukumonline, Kamis (7/1).

Penggunaan UU JPH  sebagai dasar bagi pihak MUI juga dinilai tidak tepat. Pasalnya,  menurut Hasanuddin, undang-undang tersebut mengatur kewajiban suatu produk dan/atau jasa berupa makanan, minuman, obat, dan kosmetika yang diwajibkan untuk disertifikasi halal. Selain itu, produk dan jasa itu pun memiliki parameter dan alat ukur yang jelas dalam mengukur aspek kehalalannya.

”Apa alat ukur yang digunakan? Nanti akan ada protes dari advokat yang tidak diberikan sertifikasi halal. Jadi, jangan semboro saya kira MUI yang melihat jasa hukum disamakan dengan produk lain,” tegas Hasanuddin.

Menurutnya, parameter dan alat ukur satu-satunya yang bisa diukur dari jasa hukum yang diberikan seorang advokat hanyalah moralitas. Ia menegaskan, MUI masih mempunyai segudang hal yang mesti diteliti terkait dengan kehalalan suatu produk konsumsi yang beredar di Indonesia.

”Saya menyayangkan, sikap MUI yang menurut saya sangat tidak cerdas. Dan ini, bisa memicu konflik berkepanjangan dikalangan profesi selain advokat,” tukas Hasanuddin.