DPR: Advokat Bersertifikasi Halal, Mengukur Halalnya Sulit

[sc name="adsensepostbottom"]

Undang-Undang Jaminan Halal ( UU JPH)  memfokuskan pada produk makanan, minuman, dan barang gunanan yang seharusnya halal. Kalau advokat harus bersertifikasi halal, parameter atau alat ukur halalnya sulit ditentukan.

salehdaulay300[1]Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partoanan Daulay, mengatakan, UU JPH Nomor 33 tahun 2014 hanya diperuntukan untuk produk-produk berupa makanan, minuman, barang gunaan lainnya yang diharuskan halal.

“Advokat itu jasa bukan produk. Kalau  produk jasa hukum itu harus bersertifikat halal, parameter atau mengukur halalnya sulit,” kata Saleh kepada MySharing, saat dihubungi, Senin (11/1). Baca :RUU JPH Tidak Bahas Jasa Hukum 

Saleh juga menjelaskan,  sebetulnya dalam pasal 1 angka 1 UU JPH tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai jasa hukum. Untuk ketentuan lengkap pasal tersebut sangatlah jelas menyebutkan : Produk adalah barang dan/atau jasa terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, dan  barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

”Terkait pasal 1 angka 1 UU JPH, mungkin terjadi salah penafsiran. Fokus UU JPH bukan jasa melainkan produk. Yang dimaksud jasa pun adalah restoran halal, bukan jasa hukum,”  kata Saleh. Baca: PERADI Pertanyakan Advokat Harus Halal?

Selain itu, lanjut dia, dalam pasal 4 UU JPH jelas juga dinyatakan kalau yang diwajibkan bersertifikat halal adalah produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia. Kalau kemudian ada asumsi bahwa advokat harus bersertifikasi halal, politis Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengaku parameter atau alat ukur halalnya agak sulit.

”Kalau advokat wajib bersertifikat halal, nanti guru dan wartawan juga harus disertifikasi halal lagi. Sulit mengukur halalnya akan penuh hambatan,” tukas Saleh. Baca: MUI : Jasa Hukum Wajib Bersertifikat Halal.  

[bctt tweet=”Advokat itu jasa bukan produk, sulit mengukur #halal haramnya”]