Festival Bahasa dan Budaya International 2015 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (11/4).

“Revitalisasi Nilai”, Sumber Utama Kemajuan Negara

[sc name="adsensepostbottom"]

Pengaruh budaya asing bisa menjadikan sebuah Negara hanyut mengikuti budaya asing yang masuk.

Festival Bahasa dan Budaya International 2015 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (11/4).
Festival Bahasa dan Budaya International 2015 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (11/4).

Masuknya budaya asing ke sebuah negara merupakan sebuah kewajaran. Namun dalam kewajaran tersebut menjadi berbeda, ketika sebuah negara ternyata mampu memaksimalisasi masuknya budaya asing itu sebagai alat kebangkitan dan terdapat sebuah negara yang hanyut mengikuti budaya asing yang masuk, sehingga budaya nasional memudar, demikian intisari dalamdiskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) dalam diskusi panel serial ke-10 dengan tema “Referensi Global” pada akhir pekan lalu di Jakarta.

Sayangnya, menurut Ketua YSNB – Pontjo Sutowo, studi kasus di Indonesia, pengaruh budaya asing menjadikan negara yang hanyut mengikuti budaya asing yang masuk, khususnya terhadap budaya Amerika.

“Jika dalam taraf awal pengaruh tersebut dimulai dari film-film Holywood, maka kini pengaruh tersebut dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, militer, dan sistem hukum Indonesia. Bahkan pada era reformasi ini, ide-ide liberalisme masuk dalam pasal-pasal amandemen UUD 1945. ‘Pasal-pasal Amerika’ ini ternyata bertentangan dengan dasar dan idiologi negara yang dimiliki bangsa ini,” papar Pontjo Sutowo.

Oleh karena itulah, Pontjo lalu memberikan sebuah solusi, “Kita perlu memberikan perhatian khusus terhadap kebudayaan, agar kita tidak hanyut mengikuti budaya asing yang masuk,” lanjut Pontjo Sutowo.

Sementara itu, menurut Irid F. Agus, sebenarnya pendirian negara Amerika Serikat memiliki sejarah yang hampir sama dengan Indonesia, yaitu sama-sama memerdekakan diri dari pihak penjajah. Namun Amerika mengembangkan budaya individualisme dan Indonesia budaya kolektifitas. Indeks individualisme budaya Amerika adalah 91, sedangkan indeks individualisme budaya Indonesia hanya memiliki skor 14.

“Namun demikian, budaya individualisme dan budaya kolektifitas merupakan budaya netral, budaya itu tidak membuat sebuah negara menjadi maju atau tidak. Negara dengan budaya kolektifitas juga dapat maju seperti misalnya budaya Singapura yang juga memiliki budaya kolektifitas karena indeks individualismenya memiliki skor 20. Kemajuan pada dasarnya dapat dicapai dengan mampunya sebuah negara memaksimalkan nilai positif budaya yang ada dan meminimalisasi nilai negatif budaya yang ada,” demikian kata Irid.

Sementara itu menurut A. Dahana, kemampuan Cina tidak hanyut terhadap budaya asing adalah karena Cina mampu menerapkan konsep kepribadian nasional sebagai dasar dan tehnologi Barat sebagai alat praktis.

“Dapat dikatakan jika kemajuan Cina pada saat ini diperoleh karena Cina menerapkan politik dendam sejarah atas satu abad penghinaan nasional, sebagai motivasi kebangkitan negara,” demikian kata Dahana.

Di tempat yang sama, Eva Latifah menyatakan jika Korea merupakan bangsa yang memiliki sifat homogen. Sebagai bangsa yang homogen, maka budaya bangsa Korea menjadi mudah dipertahankan, dari serbuan budaya asing. Dan sebagaimana Indonesia, Korea juga memiliki budaya kolektif. Karena memiliki budaya yang homogen, Korea awalnya menjadi bangsa yang sulit berubah. Sehingga perubahan yang terjadi baru tercapai selepas tahun 1970. Perubahan ini terjadi setelah Korea mampu merevitalisasi nilai-nilai Korea, diantaranya revolusi dalam bidang pendidikan.

“Karena itu dapat dikatakan jika dengan keberhasilannya merevitalisasi nilai-nilai Korea, Korea berhasil membuat bangsa Korea berubah. Tidak saja membendung masuknya budaya asing yang juga terjadi di Korea, namun menggunakannya untuk menyebarkan budaya Korea ke seluruh dunia. Revitasilasi nilai-nilai ala Korea ini kiranya dapat dicontoh negara Indonesia, agar dapat segera mengalami kemajuan,” demikian Eva Latifah.