Bahkan pasar non Muslim pun tertarik mengembangkan keuangan syariah.

“Keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa berdampak pada perekonomian Eropa dan global. Di tengah banyaknya anggota Uni Eropa yang perekonomiannya belum pulih, kini mereka harus mempersiapkan diri menghadapi ketidakpastian baru,” katanya dalam Pembukaan World Islamic Economic Forum ke-12, Selasa (2/8).
Di saat perekonomian sejumlah negara Eropa masih berupaya pulih, skenario berbeda dialami oleh negara-negara yang tergabung di ASEAN dan perekonomian muslim global. Najib memaparkan, tiga alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama, laju pemulihan ekonomi Eropa sejak 2008 sangat lamban dan produk domestik bruto (PDB) Eurozone masih di bawah masa sebelum krisis. Mata uang Euro pun melemah ketika bank sentral Eropa melakukan quantitave easing usai memberlakukan suku bunga negatif pada Juni 2014.
“Alasan kedua adalah pertumbuhan ekonomi ASEAN stabil sejak 2000. PDB gabungan negara ASEAN sebesar 2,6 triliun dolar AS pada 2015, membuatnya menjadi perekonomian ketujuh terbesar di dunia. Kawasan ini juga menjadi pusat global untuk manufaktur dan perdagangan, serta salah satu pasar konsumen yang tumbuh paling pesat,” jelas Najib.
Alasan ketiga adalah ekonomi Islam global yang terus berkembang. Saat ini banyak Muslim menjadi semakin aktif sebagai investor, produsen, bankir, pedagang, pesaing dan pemasok. “Belanja konsumen Muslim juga terus meningkat terutama pada permintaan untuk layanan keuangan, investasi dan asuransi, makanan halal, busana muslim serta wisata halal,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, pada 2014-2015 perekonomian Muslim dunia tumbuh hampir dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan global. Konsumsi muslim diperkirakan mencapai 2,6 triliun dolar AS pada 2020. “Saat ini bahkan pasar non Muslim juga tertarik dengan produk dan layanan Islam yang berdasarkan etos kesadaran sosial-ekonomi Islam yang diwujudkan dalam berbagai sektor,” tandas Najib.

