
Head Product Management Maybank Islamic, Nor Shahrizan Sulaiman, memaparkan perkembangan produk bank syariah di Malaysia dilakukan secara bertahap sejak negara itu mulai menumbuhkembangkan industri keuangan nonribawi. Tahap pertama industri keuangan syariah Malaysia dimulai pada 1983 hingga 1992 dengan menggarap niche market. Produk-produk keuangan industri yang berusia balita ini masih merupakan alternatif dari produk konvensional serta masih menggarap pasar utama. Fokus produk pun hanya terbatas pada hubungan bank syariah dengan nasabah. Produk-produk di tahap awal juga masih sederhana, seperti produk dengan akad qardhul hassan, musyarakah, bai’ bithaman ajil.
Di tahap kedua industri bank syariah Malaysia mulai menjangkau ke pasar yang lebih luas dengan menyediakan produk lebih beragam kepada nasabah. Tahap perkembangan yang berlangsung 1992-2002 ini Malaysia mulai memiliki instrumen antarbank dan masuk ke pasar sekunder. Fokus produknya pun meluas tidak hanya ke nasabah tapi juga antar bank syariah. Shahrizan menyebutkan produk di masa ini seperti zero coupon islamic bond, sukuk istishna, dan murabahah commodity product.
Tahap ketiga industri keuangan syariah Malaysia yang berlangsung mulai 2002 hingga kini pun mulai masuk ke karakteristik pasar global. Dengan melangkah ke tahap yang lebih sophisticated, kebutuhannya menjadi lebih kompleks, seperti instrumen manajemen likuiditas dan alat lindung nilai. Produk-produk seperti sukuk pemerintah, sekuritisasi aset keuangan serta islamic derivatives pun muncul. Langkah itu dilakukan untuk memperkenalkan instrumen keuangan syariah ke dunia. “Fokus produk juga tidak hanya antarbank dan kepada nasabah, tapi juga antara bank dengan pemerintah,” ujar Shahrizan. Di tahap ini islamic profit rate swap, islamic cross currency swap dan islamic forward rate agreement juga mulai diperkenalkan.
Untuk mencapai inovasi produk secara utuh harmonisasi seluruh pemangku kepentingan juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. Program sosialisasi pun menjadi penting untuk memastikan penerimaan oleh masyarakat luas.
Dengan semakin berkembangnya industri keuangan syariah di Asia, termasuk Indonesia dan Malaysia, Shahrizan tak menampik terbukanya peluang kerja sama lintas batas. Peluang kerja sama tersebut bisa berupa transaksi komersial lintas batas, maupun kolaborasi antara regulator demi menciptakan harmonisasi peraturan dan iklim keuangan yang kondusif.
Sementara, General Manager Bank Islam Malaysia, Dato’ Wan Ismail Wan Yusoh, mengatakan prinsip pengembangan produk selalu berputar pada riset dan pengembangan, pengujian, serta analisis bisnis dan peluangnya. Beranjak dari produk dengan akad-akad ‘tradisional’ yang sering dipakai lembaga keuangan syariah seperti murabahah, ijarah, mudharabah dan musyarakah, produk-produk keuangan syariah kini berkembang dengan berbagai macam akad. Ismail menyebutkan inovasi produk perbankan ritel seperti pembelian kendaraan dengan akad ijarah thumma al bai, maupun pembiayaan pemilikan rumah dengan musyarakah mutanaqisah maupun ijarah muntahiya bittamlik.
Ia menuturkan ketatnya industri keuangan syariah membuat lembaga-lembaga didalamnya harus terus melakukan inovasi agar tetap berada dalam jalur mainstream. “Produk juga harus terus dikembangkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga mampu penetrasi ke industri global,” kata Ismail.

