Zakat telah menjadi suatu alat distribusi kekayaan dalam Islam. Pemberian dana zakat pun telah ditentukan kepada delapan ashnaf, yaitu fakir, miskin, gharimin (orang yang berhutang), amil, mualaf, untuk memerdekakan budak, ibnu sabil (musafir), dan fisabilillah . Namun dalam pengelolaannya, setiap otoritas negara punya kebijakan yang berbeda.

Di Brunei juga terdapat perubahan peraturan terkait zakat. Salah satu yang menarik adalah distribusi zakat yang diberikan secara lump sum (pembayaran sekaligus dalam satu waktu) mulai tahun 2009. Rose memaparkan perubahan peraturan tersebut disebabkan oleh terjadinya penumpukan dana zakat hingga 200 juta dolar Brunei karena pendistribusiannya dilakukan sangat hati-hati.
“Ketika itu Sultan mempertanyakan apa Brunei sudah tidak punya orang miskin atau apa bisa transfer zakat ke negara lain? Hingga kemudian diubah membuat perubahan sistem zakat diberikan lumpsum ke mustahik yang bisa menerima zakat setiap dua sampai 10 tahun, tergantung kondisi mereka,” jelas Rose. Definisi gharimin (orang yang berutang) juga diperluas, tidak lagi hanya mereka yang berutang untuk pembangunan masjid atau fasilitas agama, tetapi juga mereka yang berutang pembiayaan kepemilikan rumah.
Dosen senior Universiti Islam Sultan Sharif Ali ini juga mengemukakan penghimpunan zakat di Brunei sendiri sebenarnya masih jauh dari potensi yang ada. “Pada 2010 zakat yang terhimpun di Brunei persentasenya masih 0,12 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau sekitar 20,7 juta dolar Brunei,” kata Rose. Muzakki masih harus diyakinkan bahwa penghimpunan dan penyalurannya sesuai syariah dan diberikan kepada orang yang berhak. Maka, tak heran jika beberapa muzakki menyalurkannya langsung kepada mustahik, tidak melalui lembaga zakat pemerintah.
Menurut Rose, pemerintah yang bertindak sebagai satu-satunya lembaga otoritas penghimpunan zakat masih belum dapat menjangkau seluruh muzakki. Cakupan penghimpunannya pun masih terbatas pada beberapa jenis, seperti zakat fitrah, zakat harta (zakat tabungan, perdagangan, emas dan perak), dan zakat pertanian. Di Brunei zakat juga masih bersifat sukarela, belum sebagai kewajiban.
Rose mengusulkan perlu adanya lembaga swasta atas nama Majelis Ulama Brunei untuk membantu pemerintah dalam menghimpun zakat, sehingga bisa berperan proaktif pula dalam menjangkau masyarakat miskin. “Selain Brunei berkomitmen bahwa pembayaran zakat bisa melalui bank, pembayaran zakat secara online juga bisa dilakukan,” kata Rose.

