Untuk Peningkatan kualitas pendidikan dan lulusan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI) mengharapkan terdapatnya dukungan dan keberpihakan pemerintah.
Rizal Ramli, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang juga Dewan Penasihat APPERTI , mengatakan perguruan tinggi tidak hanya terfokus pada formalitas seperti akreditasi atau sekadar mengejar angka sertifikasi dosen. Perguruan tinggi harus mulai membangun budaya akademik.
“Perguruan tinggi Indonesia tidak bisa instan serta merta masuk daftar perguruan tinggi yang diakui dunia (world class university) kalau budaya akademik tidak dibangun. Tidak bisa dilakukan dengan hanya melengkapi dokumen saja,” kata Rizal.
Rizal mengingatkan, pada zaman saat ini orang tidak perlu masuk perguruan tinggi kalau hanya mau belajar ilmu tertentu, tetapi bisa ikut kuliah di mana saja.
Menurutnya, banyak kelas yang lebih berkualitas dari kelas di perguruan tinggi di dunia maya. Selain itu kalau seseorang ingin bekerja, saat ini juga banyak keterampilan yang bisa dipelajari secara mandiri.
Sementara itu Marzuki Alie, selaku Ketua Dewan Pengawas Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti), mengatakan bahwa hingga kini koordinasi antarkementerian masih sulit sekali dilakukan.
beliau mencontohkan pentingnya dukungan Kementerian Perdagangan untuk membuat aturan soal pemagangan di dunia kerja,sehingga alumni yang kompeten bisa memenuhi kebutuhan pasar.
“Itu baru awal, ibarat memecahkan telur. Bagaimana kita bisa mengikuti era digitalisasi jika alumni tidak kompeten,” ungkapnya dalam seminar Apperti bertema Tantangan PTS di Era Digital Disruption, Jumat (5/1/2018).
Sedangkan Sekertaris Jenderal APPERTI Taufan Maulana mengungkapkan, saat ini telah terdapat 4.200 yayasan perguruan tinggi swasta. Adapun, jumlah perguruan tinggi negeri hanya sekitar 500 universitas.
Jadi sebut Taufan, kalau bicara perguruan tinggi itu 85 persen swasta. Namun, kita lihat politik anggaran itu tidak berimbang.
Menurutnya, seminar ini mengupas topik besar, yang pertama adalah konsitensi kebijakan pemerintah dari paradigma keberpihakan kepada semua anak bangsa. “Kalau bicara politik anggaran kontribusi itu harus diratakan,” kata Taufan kepada MySharing ditemui disela-sela seminar bertajuk “Menakar Kebijakan Konsitensi Pemeintah di Perguruan Tinggi”, di Universitas YARSI, Jakarta, Jumat (05/01/2018).
Kedua, lanjut dia, ada public goods dan privat goods. Dan pendidikan sejatinya di seluruh dunia itu adalah milik publik yang harus dilindungi. Seperti rumah sakit dan kesehatan.
Jadi, kata Taufan, kalau paradigma ini masih dibawa, bahwa pemerintah memberikan ketidakadilan paradigma dan proposi pendidikan di Tanah Air. Maka, kita katakan ketidakadilan karena konstribusi pajak 85 persen itu dari perguruan tinggi swasta. Tapi coba lihat tidak disediakan fasilitas, seperti gedung dan SDM.
“Kita tidak minta itu, yang kita minta keberpihakan dalam segi kebijakan. Perguruan tinggi negeri ketika mengajukan perizinan dengan cepat cukup dengan rektor. Tapi kita harus diajukan rekomendasi kopertis beberapa bulan kemudian kedirjen dikti. Dan itu sangat sulit,” Pungkas Taufan.

