Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Basri Bermand (tengah0 membacakan peryataan sikap MUI terkait Putusan MK Pencantuman kolom Aliran Kepercayaan di KTP-el, di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (17/1). foto:MySharing,

Peryataan Sikap MUI Terkait Kolom Aliran Kepercayaan dalam KTP-el

[sc name="adsensepostbottom"]

Majelis Ulama Indonesia (MUI)  menilai putusan MK kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama, khususnya umat Islam Indonesia

Dewan Pimpinan MUI menyampaikan pernyataan sikap menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kolom kepercayaan bisa dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk  elektronik  (KTP-el)

Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Basri Bermand  mengatakan, terkait putusan MK Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016, ada delapan poin yang dihasilkan dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dihelat MUI pada 29-30 November 2017 lalu, di Bogor, Jawa Barat,

Pertama, MUI sangat menyesalkan putusan MK tersebut. ”MUI menilai putusan MK kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama, khususnya umat Islam Indonesia. Putusan tersebut berarti telah mensejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan,” kata Basri di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (17/1).

Kedua, MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekunsi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik.

Ada pun ketiga, adalah MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitive, dan mengangkut hajat hidup orang banyak membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepenting. “Sehingga dapat mengambil keputusan secara objektif, arif, bijak, dan aspiratif,” tegas Basri.

Kemudian poin empat, sebut dia, yakni MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara. Karena hal tersebut merupakan implementasi dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undagan yang berlaku.

Selanjutnya kelima, MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayana hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahaan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi, sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Poin enam, kata dia,  terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, pembinaan warga penghayat kepercayaan agar tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.

Poin ketujuh, yakni  karena putusan MK sesuai konstitusi, bersifat final dan mengikat (final and binding). “Maka MUI mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberikan KTP-el yang mencantumkan kolom ‘kepercayaan’, tanpa ada kolom agama,” tegas Basri.

Terakhir, pembuatan KTP-el untuk penghayat kepercayaan tersebut hendaknya dapat segera direalisasikan untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan.