Instrumen green debt di Indonesia, baik dalam bentuk obligasi maupun sukuk, bisa kita katakan akan menjadi hal baru bagi Indonesia.
Dalam kegiatan workshop Green Bonds in Indonesia baru-baru ini di Grand Hyatt, Jakarta, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu – Luky Alfirman mengungkapkan, bahwa dalam hal pembiayaan, pemerintah akan mempertahankan kebijakan-kebijakan yang sudah dijalankan, antara lain memusatkan perhatian pada proyek-proyek produktif (seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur), mempertahankan rasio pembayaran bunga yang wajar terhadap utang, dan menjaga pengelolaan utang sekitar 30%. Total pembiayaan kredit tahun 2018 dianggarkan sebesar Rp399,2 triliun.
“Direktorat Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko akan mencari sumber pembiayaan baik dari pasar domestik maupun internasional dalam bentuk pembiayaan konvensional dan syariah, baik obligasi maupun pinjaman,” jelas Luky.
Luky melanjutkan, sebagai negara terbesar keempat dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Rumah bagi 17.000 pulau dan secara geografis terletak di arus global ocean conveyor belt, dikombinasikan dengan hutan hujan tropis yang luas dengan keanekaragaman hayati tinggi, nilai karbon yang tinggi, sumber energi dan mineral, Indonesia memahami pentingnya berperan dalam masalah global ini. Indonesia menargetkan sektor kehutanan, pertanian, industri, energi dan transportasi dan limbah untuk berkontribusi secara signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini memerlukan dukungan internasional tidak hanya untuk sumber keuangan, tapi juga keahlian, pengetahuan, dan pengembangan teknologi untuk mendukung usaha kita.
“Dengan demikian, strategi pembiayaan inovatif untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan aktivitas penurunan emisi gas rumah kaca menjadi sangat penting. Sejalan dengan komitmen memerangi perubahan iklim, Indonesia selalu mempertimbangkan alternatif pembiayaan masa depan yang mungkin termasuk instrumen green debt,” ungkap Luky.
Menurut Luky, inisiatif ini sangat penting karena semakin banyak proyek yang sekarang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, namun juga memberikan manfaat sosial yang telah ditetapkan dalam Nawacita. Nawa berarti sembilan dan Cita berarti harapan. Nawacita berarti sembilan harapan atau sembilan agenda prioritas Indonesia, yang antara lain melindungi masyarakat Indonesia, mendorong pembangunan pedesaan dan daerah, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan produktivitas dan daya saing internasional, jelas Luky.
“Instrumen green debt di Indonesia baik dalam bentuk obligasi maupun sukuk, bisa kita katakan akan menjadi hal baru bagi Indonesia. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, termasuk pengaturan kerangka kerja, implementasi terpadu oleh banyak pemangku kepentingan, dan aliran kerja lainnya. Pengalokasian anggaran menjadi penting guna menetapkan anggaran yang sesuai dengan prioritas pemerintah pada sektor keuangan, energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi berkelanjutan, limbah, sumber daya alam berkelanjutan, pariwisata, bangunan dan pertanian. Ini akan menunjukkan komitmen Indonesia pada masyarakat internasional terhadap agenda ini,” papar Luky lagi.
Lebih lanjut dijelaskan Luky, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yakin dapat melaksanakan penerbitan instrumen green debt dalam waktu dekat.
“Penerbitan instrumen green debt oleh pemerintah akan menetapkan standar dan patokan untuk diikuti oleh korporasi, baik perusahaan milik negara (BUMN) maupun perusahaan swasta. Mengingat fakta bahwa banyak proyek yang sesuai akan dilakukan oleh perusahaan, maka korporasi harus memainkan peran yang sangat penting dalam mengembangkan pasar green financing,” demikian Luky Alfirman, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu.

