Karena, umrah sejatinya upaya menegakkan kalimat tauhid sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim AS dan anak-anaknya.
Umrah artinya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah yang terdiri dari ihram, thawaf, sa’i, dan tahallul atau bercukur, demi mengharap ridha Allah SWT. Umrah secara bahasa pergi ke suatu tempat yang berpenghuni, juga mengandung arti meramaikan. Yaitu meramaikan tempat suci Mekah. Di kota Mekah, terdapat Masjidil Haram dan di dalamnya ada Ka’bah. Namun demikian Umrah dalam konteks ibadah tidak sekadar berarti ‘meramaikan’, namun lebih dari itu, yaitu kita dituntut agar bisa mengambil manfaat spiritual dari ziarahnya.
Karena sebagaimana kita ketahui, aktivitas umrah adalah refleksi pengalaman hamba-hamba Allah (yaitu Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS) dalam menegakkan kalimat tauhid. Maka, dalam umrah ini kita bisa menjumpai pengalaman kemanusiaan universal, yaitu menyaksikan hal yang paling demonstratif dari kemanusiaan universal, bahwa semua manusia itu pada dasarnya mempunyai derajat yang sama.
Apa perbedaan umrah dengan ibadah haji? Haji secara etimologis artinya menyengaja, menahan, datang, menang dengan argumentasi, banyak perselisihan dan keraguan, bermaksud atau menuju ke Mekah untuk ibadah. Yaitu melaksanakan ibadah kewajiban rukun Islam yang kelima dengan cara menziarahi tempat-tempat suci sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yaitu kota Mekah dan meliputi Arafah, Muzdalifah, Mina dan tempat-tempat lainnya. Lalu melakukan ibadah yang terdiri dari niat berihram dari miqat, umroh, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, jumroh di Mina, tahallul, dan tawaf wada’. Dan dilakukan pada bulan tertentu sebagaimana firman Allah:
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ
Artinya:
“(musim) haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-batahan…” (Al-Baqarah: 197)
Rukun-rukun ibadah umrah, kewajiban-kewajibannya dan hukum-hukumnya adalah sama seperti ibadah haji kecuali untuk wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah di Mina yang dilakukan setelah wukuf. Artinya bagi yang sedang melakukan ibadah umrah, umrahnya dianggap telah selesai jika sudah melakukan tahallul (memotong rambut).
Hukum umrah wajib sekali seumur hidup, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Walaupun menurut Imam Malik dan Imam Hanafi hukumnya sunnah. Berikut dalil yang berkenaan dengan wajibnya umrah :
وَأَتِمُّواْ ٱلۡحَجَّ وَٱلۡعُمۡرَةَ لِلَّهِ
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (Al-Baqarah 196)
Pelaksanaan ibadah Umrah dimulai dengan niat berihram dari miqat (tempat memulai), kemudian thawaf, sa’i, dan diakhiri dengan tahallul umrah (memotong rambut/bercukur). Tahapannya dilaksanakan dengan berurutan dan tertib. Umrah terbagi menjadi umrah wajib yaitu umrah yang pertama kali dilaksanakan yang disebut juga umratul Islam, serta umrah yang dilaksanakan karena nazar (janji pada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai). Selain itu ada juga umrah sunnah yaitu umrah yang dilaksanakan setelah umrah wajib, baik yang kedua kali dan seterusnya dan bukan karena nazar.
Melakukan ibadah umrah tidaklah sulit seperti yang dibayangkan, normalnya dilakukan hanya dengan kurang lebih 2-4 jam, tergantung kepada kekuatan fisik jamaah yang melakukan ibadah dan penuh atau tidaknya kondisi Masjidil Haram. Bagi jamaah yang tidak memungkinkan untuk berjalan kaki atau sakit, boleh untuk memakai jasa kursi roda di sekitar Masjidil Haram atau menyewa motor khusus yang disediakan oleh pengelola masjid sesuai tarif yang telah ditentukan.
Nabi Muhammad SAW melaksanakan umrah empat kali, semuanya dalam bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilaksanakan bersama hajinya. Umrah pertama dikerjakan dari Hudaibiyah pada tahun 6 hijriyah, yang kedua pada tahun 7 hijriyah (yang dikenal dengan umrah qadha), yang ketiga pada waktu penaklukan kota Mekah tahun 8 hijriyah, dan yang keempat bersamaan dengan hajinya tahun 10 hijriyah. Yang terakhir ini, ihramnya dilakukan pada bulan Dzulqa’dah, sedangkan amalan-amalannya (tahapan selanjutnya) beliau kerjakan pada bulan Dzulhijjah.
Berikut hadis mengenai umrah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh periwayat hadis kecuali Abu Daud :
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالحَجُّ المَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَرَاءٌ إِلَّا الجَنَّةَ
Artinya:
“Umrah hingga umrah berikutnya adalah kafarat (penghapus) dosa yang dilakukan di antara keduanya, dan ganjaran bagi haji yang mabrur tidak lain adalah surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Umrah berbeda dengan haji dalam miqat zamani (penentuan waktu). Dalam ibadah haji ada waktu khusus yang tidak boleh dilakukan selain pada waktu tersebut. Haji dilaksanakan dalam bulan-bulan tertentu yang disebut dengan asyhurul haram yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Penentuan bulan tersebut sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an dan juga hadis nabi yang banyak menerangkan tentang ibadah haji.
Adapun umrah boleh dilakukan pada setiap waktu dalam setahun kecuali pada hari-hari nahr, yaitu empat hari pelaksanaan haji bagi orang yang melaksanakan ibadah haji. Mayoritas ulama berpendapat bahwa melakukan ibadah umrah pada saat pelaksanaan ibadah haji adalah makruh (tidak disukai Allah SWT). Hari nahr adalah pada hari Arafah (10 Dzulhijjah) yaitu saat jemaah haji wukuf di Arafah, dan pada hari-hari tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah).
Sementara itu menurut mazhab Hambali dan Syafi’I, melakukan ibadah umrah pada hari-hari nahr tidak dilarang. Artinya orang yang tidak melaksanakan ibadah haji tetap boleh melakukan ibadah umrah pada waktu-waktu tersebut. Namun, walaupun ibadah umrah pada saat itu tidak dilarang jamaah tidak banyak yang melakukan umrah karena mayoritas berpusat pada pelaksaan ibadah haji. Maka bila Masjidil Haram terlihat ramai pada hari nahr, kebanyakan jamaah adalah melakukan rukun haji tawaf ifadah, maupun tawaf sunnah saja sebagai ganti shalat sunah tahyi’atul masjid.


