Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF Komnas HAM) atas kerusuhan 21-23 Mei 2019 (Tragedi Mei 2019) dan ini sebagian hasilnya.
Meninggalnya 10 warga sipil saat tragedi Mei bisa disebut sebagai bentuk dari unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum tanpa alasan hukum yang sah dan melanggar hukum pidana. “Jatuhnya korban jiwa sebanyak 10 orang – empat diantaranya anak-anak – merupakan sebuah tragedi. Sampai dengan saat ini, Polri masih belum bisa menemukan identitas pelaku penembakan tersebut, meskipun Tempat Kejadian Perkara (TKP) atas sembilan korban yang ditembak telah diketahui”, kata TPF Komnas HAM yang diketuai Amiruddin dalam bahan siaran persnya yang diterima MySharing, Senin (28/10).
Bahwa empat dari 10 orang yang meninggal dunia, adalah anak-anak, sehingga TPF menduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa.
Diantara sepuluh korban tersebut, hanya ciri-ciri terduga pelaku penembakan terhadap korban atas nama Harun Al Rasyid yang telah dikenali oleh Saksi. Penembakan terhadap Sembilan 9 warga sipil di Jakarta tersebut diduga dilakukan oleh orang yang terlatih dan direncanakan jauh-jauh hari dengan memanfaatkan situasi yang chaos pada 22 Mei 2019.
Sedangkan satu korban lagi dalam laporan TPF ini disebutkan jatuh di Pontianak, Kalimantan.
Bahan siaran pers bertanggal 28 Oktober 2019 itu dikeluarkan oleh Komnas HAM dengan Nomor: 022/Humas/KH/X/2019. TPF Komnas HAM Peristiwa 21-23 Mei 2019 sendiri diisi oleh, Amirudin sebagai Ketua, Ahmad Taufan Damanik sebagai Wakil Ketua, Beka Ulung Hapsara sebagai Wakil Ketua, dan Mochmad Choirul Anam sebagai Wakil Ketua.
Tim menilai, Polri berkewajiban untuk menemukan dan menuntaskan penyelidikan dan penyidikan atas peristiwa jatuhya 10 orang korban jiwa tersebut, khususnya untuk menemukan dan memproses secara hukum para pelaku lapangan dan pelaku intelektualnya.
“Jika Polisi gagal mengungkap peristiwa penembakan yang memakan korban jiwa ini, maka publik akan terus terancam karena adanya penembak gelap yang terus berkeliaran di tengah masyarakat. Membiarkan pembunuhan terjadi tanpa melakukan upaya hukum terhadap pelaku adalah pelanggaran HAM yang serius, karena membiarkan perampasan atas hak hidup terjadi”, kata TPF dalam laporannya.
Laporan juga menyoroti penggunaan kekerasan berlebihan oleh Polri dalam penanganan demonstrasi. Laporan itu menyebutkan, “Tindakan beberapa anggota Polri yang secara sewenang-wenang, dan merendahkan harkat serta martabat kemanusiaan terhadap warga masyarakat seperti terekam dalam video yang terjadi di Kampung Bali, di depan Kantor Kementerian ATR/BPN di Jakarta pusat, Jalan Kota Bambu Utara I, Pos Penjagaan Brimob, Jl. KS Tubun (Jakbar), dan terhadap anak-anak, adalah bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan dan bentuk tindakan yang selaras dengan prinsip dan Norma HAM yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia jo. Perkapolri No. 8 Tahun 2009”.
[bctt tweet=”Terjadi penggunaan kekerasan berlebihan oleh Polri dalam penanganan demonstrasi.” username=”my_sharing”]
Sebagaimana diketahui, selain korban meninggal dan luka-luka, TPF juga mencatat laporan dari masyarakat terkait dengan orang hilang. Menurut penyelidikan TPF, laporan tersebut disebabkan oleh kurangnya akses atas informasi, khususnya administrasi penyelidikan dan penyidikan, di mana terhadap setiap orang yang ditangkap dan/atau ditahan wajib diberitahukan kepada keluarganya. Sehingga, menurut TPF, “Penangkapan dan penahanan tanpa menginformasikan kepada pihak keluarga dan kuasa hukum adalah pelanggaran HAM terhadap hak-hak tersangka”.
Pada 21, 22, dan 23 Mei 2019 di DKI Jakarta dan Kota Pontianak, Kalimantan Barat, berlangsung aksi massa dan kekerasan yang telah menimbulkan kondisi yang tidak kondusif bagi pelaksanaan HAM. Atas kejadian itu, Komnas HAM RI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Peristiwa 21-23 Mei 2019 (Selanjutnya disebut TPF Komnas HAM RI).
Kondisi objektif yang mendorong pembentukan TPF Komnas HAM RI adalah jatuhnya 10 (sepuluh) korban jiwa. Selain itu, tercatat 465 (empat ratus enam puluh lima) orang ditangkap dan/atau ditahan oleh Polri di mana 74 (tujuhpuluh empat) di antaranya adalah anak-anak, adanya tindakan kekerasan yang menimpa ratusan orang baik dari pihak masyarakat maupun kepolisian.
[bctt tweet=”10 meninggal, 465 ditangkap di mana 74 di antaranya adalah anak-anak, Tragedi Mei 2019″ username=”my_sharing”]
Tujuan pembentukan TPF Komnas HAM RI adalah untuk menghimpun fakta dan keterangan sehubungan dengan peristiwa 21-23 Mei 2019 dan memastikan seluruh proses penanganan atasnya berjalan secara transparan dan fair sesuai dengan norma-norma HAM dan hukum sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, terutama korban dan keluarganya.

