Belakangan di media sosial dan berbagai WAG oposisi timbul narasi revolusi. Hal ini tentu ada kaitannya dengan rezim saat ini. Rezim yang dinilai galal dan terus dikritik, namun kian represif juga.
Sudahkah saatnya revolusi terjadi? Belum tentu, bisa jadi fenomena saat ini mengarah kepada Putsch atau makar yang gagal.
Di edisi Revolusi atau Putsch bagian 2 ini, kita akan bicara soal prasyarat revolusi ditinjau dari best practicesnya. Contoh yang diambil adalah revolusi China modern yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen, people power Corazon Aquino Filipina, aksi 411 dan 212, dan demo-demo Bawaslu memprotes dugaan kecurangan Pilpres 2019.
Bersama Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), pengaji geopolitik yang juga wartawan senior, kali ini kita bahas soal ini, #Revolusi atau #Putsch?
Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang pemimpin kharismatik, berperannya sebuah partai pelopor (avant garde), adanya sebuah elemen ideologi.
Dalam Revolusi Rusia, misalnya, Lenin dan tokoh puncak Partai Komunis mampu menjadi pemimpin yang kharismatik. Revolusi lain yang mengedepankan seorang tokoh, misalnya Fidel Castro di Kuba, Che Guevara di Amerika Selatan, Mao Tse-Tung di Republik Rakyat Tiongkok, Ho Chi Minh di Vietnam, Ayatullah Khomeini di Iran, Corazon Aquino di Filipina ketika Revolusi EDSA, dll.
Nah, jika Anda menganggap, inilah saatnya untuk revolusi, hati-hati, bisa jadi ini Putsch, dan jika gagal, konsekuensinya sungguhlah berat.
Istilah putsch berasal dari kegagalan makar oleh Hitler di 1923. Di tahunitu, Adolf Hitler melakukan suatu kudeta dengan bantuan jendral Ludendorff. Kudeta dilakukan di Munich, lalu diikuti dengan melawan pemerintahan di Berlin. Kudeta itu gagal.

