Kampung Handycraft: Modal Cekak, Anggota Minim

[sc name="adsensepostbottom"]

Dari kain blacu dan karung goni, Ibu-ibu di kampung ini membangun bisnis rumahan menghasilkan, memberi ciri Kampung Handycraft. Dengan berkumpul pengrajin mampu mendongkrak penghasilan hingga Rp 1-2 juta per bulan. Tantangannya adalah memperbesar perkumpulan pengrajin dan meningkatkan akses modal.

nenanamo
Hasil kerajinan tangan Nena Namo, Surabaya dari kain blacu. Foto: wartametropolitan.com

Bergabung dalam perkumpulan mampu meningkatkan bisnis rumahan menghasilkan di kampung ini. Namun, jika Kampung Kue dan Kampung Kerupuk lebih mudah merekrut anggota perkumpulan, tidak demikian dengan kampung unggulan yang lain. Selain kampung bordir, seretnya mencari anggota juga dialami oleh Kampung Handycraft yang terletak di kawasan Pandegeling Surabaya.

Tak heran bila tempat tinggal anggota perkumpulan Kampung Handycraft ini lokasinya tersebar, tidak mengelompok dalam satu kampung atau satu gang seperti Kampung Kue dan Kampung Kerupuk.

Nena Namo
Selain di Pandegeling, kawasan yang termasuk Kampung Handycraft juga dijumpai di Kelurahan Wonorejo Surabaya yang dibuat oleh komunitas ibu-ibu yang terampil membuat kerajinan. Awalnya kerajinan tangan ini hanya sebagai hobi. Akan tetapi sekarang ibu-ibu ini bisa membuat bisnis rumahan menghasilkan.

Kerajinan tangan di kampung ini mulai dirintis sejak 2004. Sampai sekarang tetap menjadi bisnis rumahan menghasilkan beraneka produk, dan terus mendapatkan pembinaan dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya.

Disbut Kampung Unggulan Handycraft Nena Namo, terletak di Kelurahan Wonorejo tepatnya di jalan Kedungsari, Surabaya. Sekarang kaum wanita di kawasan ini bisa membuat produk yang layak jual. Hasil Handycraft itu kini tidak sekadar menjadi hobi akan tetapi sudah bisa menjadi sumber penghasilan bagi mereka.

Kerajinan yang diproduksi kampung ini terbuat dari kan blacu dan karung goni. Berbekal ketekunan, bahan baku tersebut diubah menjadi aneka barang seperti payung, dompe lukis, tamplak meja, sarung bantal, tudung saji, kotak tisu, dan sebagainya. Desain khas, kerapihan pengerjaan, dan lokalitas menjadi daya saing produknya yang dijual dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah

Perkumpulan Meningkatkan Kapasitas
Ciri Kampung Handycraft tak lepas dari peran sebuah perkumpulan yang memiliki nama sama, Perkumpulan Kampung Handycraft. Namun uniknya, sesungguhnya tidak banyak yang bergabung dalam perkumpulan ini. Hal ini diakui oleh oleh salah seorang anggota perkumpulan, Sutjiati. Sejak menggabungkan diri dalam perkumpulan pada 2012, anggotanya baru mencapai enam orang.

“Awal berdiri perkumpulan memang lebih lambat dibanding kampung unggulan yang lain. Kampung kami baru terbentuk pada 2012. Awalnya hanya ada empat orang”, kata wanita berjilbab ini ditemui di sela-sela Pameran Kampung Ramadhan di Jatim Expo Surabaya (2/7).

Sutjiati sendiri sudah menjalankan usahanya sejak 2002. Dia mengaku bisa menguasai keterampilan membuat Handycraft dari salah seorang temannya. “Saya belajar membuat tas dari bahan monte. Setelah mahir membuat tas dari manik-manik saya mulai belajar membuat suvenir lain, seperti gantungan kunci, bros, dan produk lainnya”, kata wanita kelahiran 27 Juni 1967 ini.

Di awal-awal, usaha Handycraft-nya berjalan dengan bendera “Arcam”, Sutjiati mengaku hanya mampu meraup pendapatan tak lebih dari Rp 500 ribu. Kini, setelah dia bergabung dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surabaya, ibu satu anak ini bisa meningkatkan pendapatan Rp 1 juta per bulan. Meski jumlahnya relatif kecil, bagi Sutjiati, jumlah tersebut sudah cukup lumayan. Maklum, usahanya itu sekadar mengisi waktu senggang. “Kata teman saya yang mengajarkan keterampilan ini daripada menganggur ‘kan lebih baik mengisi waktu luang yang ada dengan membuat barang kerajinan”, imbuhnya.

Bagi Sutjiati, materi bukan satu-satunya pertimbangan ukuran kepuasan dia dalam menjalani bisnis rumahan menghasilkan lewat produk handycraft dan tergabung dalam anggota perkumpulan kampung unggulan ini. Karena, katanya, selain materi, dirinya juga bisa merasakan manfaat lain.

Apa saja? Paling tidak setiap kali ada pertemuan dengan pendamping (Disperdagin), dia mendapat banyak masukan, mulai dari peluang bisnis hingga pelatihan keterampilan membuat produk lain yang belum dikuasai.

“Manfaat lain, saya juga sering ikut pameran gratis yang disponsori oleh Disperdagin. Seperti sekarang ini, kami (kelompok Handycraft) bisa memiliki stand di pameran Kampung Ramadhan secara gratis”, ujarnya.

Di stand pameran ini, masing-masing anggota memajang produknya mulai dari tas monte, box hantaran, bros, gantungan kunci, dan hasil kerajinan yang lain.

Selain Sutjiati, anggota perkumpulan lain Sulistyowati punya cerita lain. Sebelum tergabung dalam anggota perkumpulan, dia bekerja pada UKM yang juga pemroduksi barang kerajinan. Dari tempat inilah dia banyak menguasai keterampilan membuat barang kerajinan khususnya beragam aksesoris.

Mendongkrak Pendapatan
Sama dengan Sutjiati, setelah dirinya bergabung dalam Kampung Handycraft, Sulistyowati juga merasakan banyak manfaat semenjak bergabung menjadi anggota binaan Disperdagin. “Dulu pendapatan saya tak lebih dari Rp1 juta (per bulan—red). Kini, pendapatan saya bisa mencapai Rp 2 juta. Bahkan menjelang lebaran seperti sekarang bisa terdongkrak hingga Rp2,5 juta”, ungkapnya.

Jika Sutjiati mengandalkan pesanan dari pelanggannya, tidak demikian halnya dengan wanita yang akrab dipanggil Sulis. Selain menerima pesanan dan aktif ikut pameran seperti sekarang, dia juga getol menitipkan produknya ke berbagai gerai suvenir yang ada di dua pusat perbelanjaan modern yang ada di Surabaya. “Kerjasama kami berdasarkan sistem konsinyasi”, ucap Sulis.

“Kami pernah berusaha mengajukan kredit ke Dinas Koperasi Jatim. Ternyata untuk mendapatkan kucuran kredit kelompok, minimal jumlahnya 30 orang. Sementara jumlah kami hanya enam orang, ya sudah kita pulang lagi. Padahal dengan tambahan modal kami bisa mengembangkan usaha. Tidak seperti saat ini, selama produk belum laku itu artinya masih ada uang yang “nyantol”. Otomatis kami belum bisa menambah produksi, menunggu barang laku,” papar Sulis yang asli Surabaya ini.

“Mejeng” di Pameran
Pameran, rupanya menjadi ajang strategis bagi Sutjiati dan Sulis untuk memperluas jumlah pelanggan. Bagi kedua wanita ini, meski produknya tak selalu ludes dibeli pengunjung, mereka berharap kerapnya produk mereka “mejeng” di arena pameran semakin memperkenalkan bisnis rumahan menghasilkan mereka di masyarakat. Dengan harapan, bukan tidak mungkin suatu hari akan ada pelanggan baru yang memesan atau mencari produk mereka.

“Tas monte saya misalnya, di ajang pameran seperti ini relatif tidak mudah menjualnya, karena harga produk saya kisaran Rp100 ribu ke atas, sehingga sulit terjangkau”, katanya.

Begitu juga dengan Sulis, seringkali dari ajang pameran dia mendapat pelanggan baru. Tak selalu dari pelanggan dalam kota, pelanggan dari sekitar Surabaya seperti Sidoarjo pun sesekali dia terima.

“Biasanya, selama pameran berlangsung saya memanfaatkan waktu yang ada untuk mengunjungi sesama stand UKM lain. Dari mengobrol dengan mereka inilah, terkadang mereka memesan produk saya”, paparnya.

Kampung Nena Namo Surabaya
Payung cantik hasil kerajinan tangan Ibu-ibu Kampung Handycraft Nena Namo, Surabaya. Foto: Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Surabaya.

Pameran Saja Tidak Cukup
Diakui oleh Sutjiati maupun Sulis, disamping pelatihan dan pembinaan yang sudah mereka dapatkan dari Disperdagin, mereka juga membutuhkan modal alias kucuran kredit dari lembaga terkait, seperti perbankan atau dinas koperasi. Sayang, keterbatasan agunan dan pendapatan bulanan dari bisnis rumahan menghasilkan ini membuat mereka belum bisa mengajukan kredit.

“Kami pernah berusaha mengajukan kredit ke Dinas Koperasi Jatim. Ternyata untuk mendapatkan kucuran kredit kelompok, minimal jumlahnya 30 orang. Sementara jumlah kami hanya enam orang, ya sudah kita pulang lagi. Padahal dengan tambahan modal kami bisa mengembangkan bisnis rumahan menghasilkan kami. Tidak seperti saat ini, selama produk belum laku itu artinya masih ada uang yang “nyantol”. Otomatis kami belum bisa menambah produksi, menunggu barang laku,” papar Sulis yang asli Surabaya ini.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Dinas Perindustrian, atau lembaga terkait yang peduli dengan kelangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) seperti yang ada di Kampung Handycraft ini. Mengasah dan meningkatkan kemampuan mereka di bidang Handycraft serta memfasilitasi pemasaran produk mereka melalui berbagai pameran ternyata belum cukup untuk menjaga kelangsungan kelompok UKM ini.

Paling tidak dibutuhkan peran lebih dari Pemerintah Daerah untuk semakin menguatkan dan mengembangkan bisnis rumahan menghasilkan mereka termasuk di dalamnya menyiapkan mereka menghadapi persaingan yang kiat sengit. Apa lagi kalau bukan modal usaha?