Tim nasional sepakbola Jerman memikul beban cukup berat agar mampu menembus final Piala Dunia 2006. Kala itu tim Der Panzer diprediksi akan mampu menahan laju tim Gli Azzuri (julukan timnas Italia).

Laga semifinal antara Jerman-Italia itupun yang menjadi magnet yang mampu menghentikan sementara sidang pembahasan UU Perbankan Syariah antara DPR dengan Asosiasi Bank Islam Indonesia (Asbisindo) di Hotel Savoy Homann, Bandung. Menjelang masa akhir pembahasan RUU rapat Asbisindo dengan DPR pun dipindahkan ke Bandung selama 3-4 hari untuk ‘menghindari’ tumpukan pekerjaan lainnya di Jakarta.
Wahyu mengisahkan ketika Asbisindo mulai menggaungkan usulan UU Perbankan Syariah, pihaknya secara intens mulai sering menyambangi seluruh fraksi DPR untuk bersilaturahmi dan memberi penjelasan mengenai industri perbankan syariah Indonesia. Ia pun secara perlahan mendekati partai-partai nasionalis untuk berdiskusi intensif terkait perbankan syariah, seperti PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat hingga Partai Damai Sejahtera (PDS).
“Tahap mekanisme perjuangan kita adalah menggaungkan ide perlunya UU sebagai bentuk ada pengakuan legal dari negara atas ekonomi syariah. Langkah berikutnya saya melobi DPR agar ini dicantumkan dalam agenda pembuatan UU di masa sidang itu dan agar bisa masuk prolegnas,” kata Wahyu. Pendekatan yang dilakukan pihaknya adalah dengan membawa isu bahwa ekonomi syariah bersifat universal dan tidak terkotak-kotak dalam ranah agama.
Sejak usulan UU Perbankan Syariah bergulir Asbisindo membentuk dua tim yang terdiri dari komisi organisasi dan komisi regulasi diketuai oleh Rizqullah (mantan Dirut BNI Syariah) dan Avantiono Hadhianto (Kepala UUS Bank Jatim). Masing-masing komisi membahas pasal per pasal sesuai kelompok kerjanya hingga berbulan-bulan. Malah mendekati tenggat waktu penyerahan draft ke DPR, tim Asbisindo merapatkan barisan hingga menginap selama dua hari di Hotel Sofyan Cikini agar pembahasan dapat dilakukan lebih intens dari pagi hingga malam.
Saat draft sudah diserahkan ke DPR Wahyu menjadi ujung tombak bagi Asbisindo dalam memperjuangkan draft RUU Perbankan Syariah. Anggota-anggota komisi tim Asbisindo juga acapkali menemaninya, seperti Achmad Fauzi (BSM), Rizqullah, Abdullah Al Juffry (mantan Asisten Bidang Syariah Dirut Bank DKI), Didik Hadi Sunaryo (mantan Direktur Bank Jabar Banten Syariah), Avantiono, Bambang Sutrisno (BPRS Safir).
“Saat sidang saya pernah sendiri karena teman-teman ada yang pulang karena sudah malam dan mengantuk tapi karena saya jubirnya dan yang mengusung ide ini ya saya tetap bertahan,” ujar Wahyu. Memang tak jarang sidang pembahasan RUU Perbankan Syariah digelar hingga tengah malam.
Asbisindo pun secara terus menerus menyampaikan usulan RUU Perbankan Syariah di setiap ajang nasional seperti seminar, pelatihan sosialisasi dengan mahasiswa dan di daerah. Wahyu mengatakan UU yang jelas diperlukan agar membuat pelaku industri leluasa bergerak, sehingga bank syariah bisa didukung oleh subsistem seperti sektor riil dan jasa lainnya.
Kendati ada pergantian sejumlah anggota dewan saat pemilu 2004, hal tersebut tak menyurutkan langkah pembahasan RUU Perbankan Syariah. “Dulu Asbisindo bisa dibilang galak dari sisi perpolitikan ekonomi karena kita maju sebagai salah satu wakil utama. Bank syariah saat itu belum banyak maju sendirian, tidak berani dan tidak ada waktu. Jadi kita sangat didengar oleh publik, media, DPR, juga BI,” tukas Wahyu. Ia pun menuturkan hingga masa jabatannya di Asbisindo berakhir pada 2006 seluruh draft final RUU Perbankan Syariah telah final dan tinggal menunggu ketok palu dari DPR. Berikut adalah kutipan wawancara Wahyu Dwi Agung kepada Sharing :
Bagaimana muncul ide untuk UU Perbankan Syariah?
Waktu itu asosiasi sepakat pertumbuhan bank syariah itu harus dipicu dan dipacu. Untuk menempatkan aset dan kontribusi dipicu agar bergerak sistemik dengan adanya aturan dan sistem yang membuat bergerak tanpa campur tangan tokoh yang ada. Kita menganggap perlunya sebuah sistem yang diatur UU karena sebagai negara hukum semua aktivitas diatur. Ketika melihat perbankan syariah Malaysia lahir pada 1983 dan menunjukkan generasi porsi marketing luar biasa didukung oleh aturan yang jelas, sementara Indonesia tidak ada aturan yang jelas, termasuk adanya simpangsiur termasuk soal pajak. Karena itu Asbisindo mendorong adanya payung hukum yang mengatur bank syariah, tidak diselipkan dalam UU perbankan yang lama. Kita mencoba mendorong sana sini agar perlunya UU.
Inisiatifnya darimana?
Kita tidak mengklaim kita adalah satu-satunya tapi kita salah satu yang inisiatifnya kuat mendorong lahirnya UU. Intensitas kita sangat tinggi dan kita maju pertama ke DPR agar digolkan. Setelah ngetok pintu DPR dan DPR melempar ke media, BI, pemerintah dan masyarakat, sehingga BI didorong membuat desain dan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk buat draft akademis tentang UU itu. Tapi soal gerakan, asosiasi yang mendorong maka disitulah lobi-lobi dengan dewan sangat intensif sehingga menimbulkan gerakan yang membola salju.

DPR secara umum menerima tapi tidak bulat. Untuk lobi terutama pasal tertentu, kita punya strategi. Waktu di asosiasi agak kental dengan politik isu apa yang ingin diangkat. Kita tidak ingin memecah belah persatuan karena itu kita tidak mengangkat agama. Kita ngomong syariah itu universal, termasuk kepada PDS. Dulu tidak gampang karena itu kita menyisir partai-partai yang ‘tidak hijau’. Kalau partai seperti PPP, PKB, PKS cukup gampang tapi partai lain kita dekati.
Apa saja yang dimasukkan Asbisindo dalam draft RUU Perbankan Syariah?
Sebetulnya draft Asbisindo hampir mirip dengan UU yang sudah disahkan. Yang agak beda kita waktu itu minta ada direktorat bank syariah dan deputi gubernur BI khusus syariah. UUS kita minta jadi direktorat supaya ada direktur, sehingga di BI ada deputi gubernur khusus syariah. Itu yang tidak diakomodir.
Kita tidak mendorong spin off tiba-tiba tapi mendorong suatu direktorat syariah di bank umum. Kita sepakat kalau spin off itu dilakukan ketika sudah bisa dan kuat. Analogi kita dulu jangan beli sangkar berdasar jumlah burung, tapi beli sangkar besar yang bisa menampung banyak burung karena asumsi kita ini (perbankan syariah) akan besar. Jadi kalau direktorat kan lebih besar dari UUS, maka modalnya juga harus besar. Spin off juga jadinya akan langsung besar, tidak seperti sekarang ada bank yang sudah spin off tapi tidak kelihatan, tidak membuat pede manajemen.
Tapi dalam membuat UU kita kan juga kompromi, tidak mungkin semua dimasukkan. Nanti bisa diubah, atau dilakukan penyempurnaan dan itu tugas generasi berikutnya. Yang perlu diperhatikan UU Perbankan Syariah adalah acuan hukum fundamental, tapi sebenarnya digunakan tidak oleh industri. Mestinya UU itu kan jadi payung yang mentrigger UU lain jadi lebih fokus dan tajam, tapi malah tidak. Misal UU Haji kan tentang agama peribadatan umat muslim dan sudah ada UU Perbankan Syariah, kan mestinya ada sinergi haji uangnya lewat bank syariah.
Diskusi pasal mana yang alot di intern Asbisindo?
Soal organisasi apa mau UUS atau direktorat itu alot, tentang DPS dan definisi itu juga alot semua. Penyebutannya apa mau bank islam atau bank syariah. Lalu BPRS dulu di draft pertama disebutnya bank rakyat syariah, terus baru akhirnya jadi bank pembiayaan rakyat syariah. Pergerakan saat itu luar biasa dan bisa dibilang era perjuangan, sampai di TV penuh dengan kita tapi penuh dengan orasi provokatif. Pembahasannya intens dan kita semua kompak. Rapat memang tidak setiap hari tapi kontinuitas tinggi.
Dewan juga ada yang belum paham tentang bank syariah. Masa rapat adalah masa penjelasan tentang definisi yang cukup panjang. Kita jelaskan lalu mereka tidak terima, ya digugat. Jadi mungkin pertama mereka belum terlalu paham soal bank syariah, tentang definisi kita urai makna dan definisi bisa beberapa kali sidang, bisa berupa soal deposito, pembiayaan, bagi hasil. Yang dikenang saat itu situasi dimana banyak orang yang tidak paham dan kita menjelaskan kan perlu waktu, kesabaran tinggi, sama dengan pajak murabahah. Dulu berat sekali menjelaskan, tapi sekarang sudah mulai banyak yang mengerti.
Ada komplain dari kantor atau keluarga pulang malam terus?
Saya orang pergerakan, saya tidak pulang pun keluarga mengerti karena yang saya urus pasti bukan kepentingan pribadi saja, tapi untuk umat. Jadi sudah kebiasaan. Perjuangan menuntut begitu, kadang tidak pulang. Jadi saya dapat dukungan kantor maupun keluarga. Dari kantor sejak awal saya dijadikan pengurus Asbisindo saya ngomong ke direksi kalau saya mengutamakan umat. Jadi pada saat yang berbarengan dengan Asbisindo, kantor saya kalahkan. Disitulah saya baru bisa independen.
Apa kejadian yang dikenang dengan DPR?
Anggota DPR concern tapi pas Piala Dunia kita ditinggal juga. Itu lucu. Waktu itu sidang di Bandung dan Piala Dunia sudah masuk semifinal. Pas bola main, sidang langsung skors karena mau nonton bola, baru lanjut lagi sidangnya besok. Jadi nonton bareng itu memang karena satu tujuan dan satu hobi. Kita juga sudah mengkondisikan karena dengan pokja perbankan syariah DPR sudah saling mengenal. Kita pasang proyektor di ruang rapat untuk nonton bola. Saat itu sudah saat genting. Pembahasannya per pasal tapi sudah mulai dikemas secara spesifik. Saya tidak inget pas rapat diskors itu sedang bahas apa. DPR minta disana biar tidak diganggu dengan tugas di Jakarta dan keluarga, jadi kita intens membahas dari pagi sampai malam

