Repo syariah dapat dijadikan solusi mengatasi ketatnya likuiditas perbankan syariah. Pedoman akuntansinya pun kian dibutuhkan.

Tingginya FDR bank syariah ini menunjukkan bahwa Dana Pihak Ketiga dikucurkan seluruhnya untuk pembiayaan, dan selebihnya diambil dari modal bank. Dengan kondisi ini bank syariah menghadapi kekurangan likuiditas untuk memenuhi permintaan pembiayaan masyarakat ataupun ketika terjadi penarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Sementara bila kita tengok bank konvensional, Loan to Deposit Ratio (LDR) bank hanya sekitar 50%, selebihnya disimpan dalam surat berharga. Terlihat prioritas bank syariah yang lebih mengutamakan sektor riil dalam penyaluran DPK-nya ketimbang bermain di surat berharga.
Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi Islam yang menekankan keterkaitan yang erat antara sektor keuangan dengan sektor riil. Dengan kata lain hal ini menunjukkan beginilah seharusnya sektor perbankan memainkan peranannya dalam menopang keberlangsungan perputaran roda perekonomian di sektor riil.
Masalah likuiditas yang menyelimuti perbankan syariah ini diatasi di antaranya dengan melibatkan peran Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang memiliki tanggung jawab menjaga kestabilan moneter agar keseimbangan perekonomian di sektor moneter dan sektor riil tetap terjaga. Ketika permintaan barang dan jasa di sektor riil mengalami peningkatan, sementara perbankan sebagai penyedia modal tidak berada pada kodisi yang cukup likuid untuk memenuhi permintaan modal dari sektor riil, maka peran BI kemudian yang mengatasi kondisi di sektor perbankan agar dapat memenuhi kebutuhan permodalan bagi sektor riil. Untuk menjalankan perannya tersebut, BI menerapkan kebijakan moneter dengan melakukan operasi pasar terbuka sebagai instrumennya. Oleh karena itu permasalahan likuiditas perbankan syariah ini kemudian direspon oleh BI dengan menyediakan repurchase agreement (repo) kepada bank syariah sebagaimana BI telah memberikannya kepada bank konvensional.
Repo merupakan transaksi penjualan instrumen efek antara dua belah pihak yang diikuti dengan perjanjian dimana pada tanggal yang telah ditentukan di kemudian hari akan dilaksanakan pembelian kembali atas efek yang sama dengan harga tertentu yang telah disepakati. Dari sifatnya, secara umum repo terdiri dari classic repo dan sell/buy back repo. Dalam classic repo tidak terjadi pemindahan kepemilikan, sehingga transaksi repo jenis ini lebih mirip seperti collateralized borrowing (pinjaman beragunan), dimana dalam Repo tersebut kepemilikan Efek akan tetap berada pada pihak seller/penjual. Efek tersebut tidak dapat ditransfer atau dijual kembali sebelum tanggal transaksi Repo. Sementara dalam sell/buy back repo terdapat pemindahan kepemilikan efek dari penjual ke pihak pembeli.
Kebutuhan repo bagi perbankan syariah kemudian ditindaklanjuti oleh BI dengan menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/17/DPM tanggal 31 Maret 2008 tentang Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dengan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 tentang Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia. Dengan dikeluarkannya kedua Surat Edaran Bank Indonesia ini maka bank syariah yang memiliki Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dapat menggunakan kedua jenis surat berharga ini untuk mengatasi masalah likuiditasnya.
Dalam Repo SBIS terjadi transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dengan agunan SBIS, yang merupakan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Karena transaksinya berupa pemberian pinjaman dengan jaminan efek (collateralized borrowing) maka akad yang mendasari transaksi ini adalah qard dan rahn.
Dalam Repo SBSN transaksi dilakukan dengan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’ad (janji) oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam dokumen terpisah untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
Dari kedua regulasi yang dikeluarkan BI tersebut repo SBIS lebih mencerminkan transaksi classic repo yang lebih mirip pinjaman beragunan (collateralized borrowing), sementara repo SBSN mencerminkan sell and buy back repo.
Perspektif Akuntansi
Dalam pelaksanaan transaksi Repo, terdapat beberapa isu atau kendala yang dihadapi oleh para pihak, di antaranya dari aspek akuntansi. Pedoman perlakuan akuntansi untuk transaksi repo saat ini baru mengatur transaksi repo konvensional yang tertuang dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-132/Bl/2006 tentang Perlakuan Akuntansi Repurchase Agreement (Repo) dengan Menggunakan Master Repurchase Agreement (MRA) dalam Peraturan Nomor VIII.G.13.
Dalam pedoman tersebut pihak yang melakukan repo harus mereklasifikasikan akun efek ke akun yang direpokan dan mencatat hutang repo sebesar harga pembelian kembali dan mencatat selisih harga jual dan harga pembelian kembali sebagai beban bunga repo. Sedangkan bagi pihak yang melakukan reverse repo (pembeli) wajib mencatat piutang re-repo sebesar harga penjualan kembali dan mencatat selisih harga pembelian dan harga penjualan kembali sebagai pendapatan bunga yang ditangguhkan. Pedoman tersebut pun hanya mengakomodir pencatatan transaksi Repo dengan model classic repo, dimana aset repo tetap dicatatkan sebagai milik pihak penjual. Sedangkan berdasarkan metode sell/buy back repo sebenarnya terjadi peralihan kepemilikan aset kepada pihak pembeli.
Sementara itu, pedoman perlakuan akuntansi untuk transaksi repo syariah belum tersedia, baik aturan tentang perlakuan akuntansinya yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
PSAK 55 baru mengatur repo konvensional yang juga hanya mengakomodir pencatatan transaksi Repo dengan model Classic Repo. Oleh karena itu PSAK yang mengatur perlakuan akuntansi repo syariah sudah menjadi kebutuhan saat ini.
Upaya untuk memperbarui pedoman perlakuan akuntansi repo telah dilakukan oleh OJK melalui kajian tentang Perlakuan Akuntansi Repurchase Agreement (Repo) yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan terkini perlakuan akuntansi Repurchase Agreement (Repo) yang didasarkan atas Global Master Repurchase Agreement (GMRA) versi 2000 dan PSAK yang berlaku.
Dari kajian ini diharapkan OJK dapat menerbitkan tidak hanya peraturan tentang perlakuan akuntansi repo terbaru, namun juga dapat diterbitkan pedoman terkait perlakuan akuntansi repo syariah. Berikutnya untuk melengkapi regulasi BI yang mengatur transaksi repo SBIS dan repo SBSN, maka terbitnya PSAK yang mengatur perlakuan akuntansi repo syariah yang mengakomodir transaksi model classic repo dan model sell/buy back repo juga sudah menjadi suatu kebutuhan.
