ketimpangan ekonomi
Ilustrasi ketimpangan ekonomi Indonesia

Sawit, Batubara, dan Ketimpangan Ekonomi

[sc name="adsensepostbottom"]

Batubara dan Sawit membuat orang Indonesia makin kaya, sebagian. Ketimpangan ekonomi pun terjadi, mendorong 40 persen penduduk Indonesia dalam kemiskinan.

Lanjutan dari Ketimpangan Ekonomi Naik 60%

ketimpangan ekonomi
Ilustrasi ketimpangan ekonomi Indonesia

Penelitian terakhir menunjukkan ketimpangan ekonomi  Indonesia yang naik 60% terjadi karena pola pertumbuhan ekonomi. Ada dua faktor potensial penyebab pola pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi Indonesia itu, eksogenus dan endegenus. Faktor eksogenus, pertumbuhan ekonomi masa reformasi dipicu oleh ledakan harga komoditas, khususnya minyak sawi t dan batu bara, terkerek oleh kernaikan harga global.

Penelitian bertajuk “Twenty Years Of Expenditure Inequality In Indonesia, 1993–2013” ini telah dimuat di Bulletin of Indonesian Economic Studies edisi . Dikerjakan oleh dua peneliti, Arief Anshory Yusuf (Direktur Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Padjadjaran, Indonesia ) dan Andy Sumner (Direktur Lembaga Pengembangan Internasional, King College London, Inggris).  Penelitian ini mengukur belanja per orang untuk melihat evolusi belanja dan mengidentifikasi pola pertumbuhan ekonomi sebagai penyebab terdekatnya (proximate) .

Orang Kaya Daerah
Ketika harga komoditas global sawit dan batubara naik, terjadilah booming usaha perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara di berbagai daerah Indonesia, khususnya di luar Jawa. Banyak orang kaya baru di luar Jawa, para juragan tanah yang lahannya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit atau pertambangan batubara. Orang dari kota seperti Jakarta juga bertambah kaya ketika berhasil memanfaatkan booming ini dengan menjadi investor usaha kelapa sawit atau batubara misalnya.

Peneliti juga menampik anggapan bahwa ketimpangan ekonomi dikaitkan dengan pesatnya perkembangan daerah perkotaan di Indonesia, seperti ibukota, DKI Jakarta. Justeru, mereka menemukan bahwa ketimpangan ekonomi meningkat di seluruh negeri, dan sebagian besar terjadi dalam cakupan provinsi dan kabupaten.

Sektor Manufaktur, Nasibmu Kini
Sebelum krisis ekonomi Asia Tenggara 1997–1998, sektor manufaktur menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, selama 1990–1996, sektor ini menyumbang 11,2 persen terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang justeru rerata di 7,9 persen. Pertumbuhan pasar kerja sektor manufaktur mencapai 6 persen. Bandingkan dengan rerata nasional yang di 2,3 persen.

Di periode 2000–2008 pertumbuhan pasar kerja sektor manufaktur hanya 4,7 persen. Bandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya 0,9 persen.  Sejak lama, sektor formal seperti industri manufaktur menjadi tujuan bagi banyak pencari kerja dari pedesaan. Ketika kesempatannya menyempit , banyak penduduk desa yang tidak puas dengan hasil pertanian mencari kerja di sektor informal, yang cenderung tidak membutuhkan keterampilan khusus seperti di sektor formal. Sektor informal, di Indonesia lebih tidak menjanjikan ketimbang sektor formal.

Penurunan pendapatan petani selama sepuluh tahun terakhir juga disinggung dalam penelitian ini, sebagai salah satu pembentuk faktor endegenus penyebab ketimpangan ekonomi.

Dilema Subsidi BBM
Faktor pembentuk lainnya, harga beras dan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sejak 1997–1998 peningkatan subsidi BBM telah mengambil porsi anggaran negara yang tadinya dapat dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan.

Sejak 2000, subsidi BBM memakan 10 hingga 25 persen anggaran negara. Ketika pemerintah memotong subsidi BBM dan menaikkan harga BBM beberapa kali pada 2005, 2008, dan 2013, inflasi terpicu. Untuk memitigasi harga-harga yang melambung, pemerintah memberikan kompensasi berupa uang tunai kepada penduduk miskin.

Tetapi, karena  harga minyak dunia juga terus naik, sementara konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat pesat seiring pertumbuhan kendaraan bermotor, subsidi BBM tetap besar bagi anggaran negara. Pertumbuhan kendaraan bermotor dipicu juga oleh makin mampunya 40% penduduk terkaya itu membelinya.

Kebijakan fiskal terkait subsidi  bahan bakar minyak (BBM) ini dinilai tidak  efektif. Misalnya, pada 2013, pajak penghasilan pribadi menyumbang sekitar Rp 102 triliun ke pendapatan negara. Sebaliknya, subsidi BBM menembus Rp 200 triliun dan ini dinikmati juga oleh 40 persen penduduk terkaya d Indonesia. Sementara itu, belanja sosial hanya Rp 80 triliun, jauh di bawah subsidi BBM. “Tampaknya hal ini menyebabkan efek regresif berkesinambungan dan meningkatkan ketimpangan ekonomi”, kata para peneliti.

Tentu ada faktor lain yang tidak diteliti, namun, menurut para peneliti, faktor-faktor ini cukup untuk dijadikan bahan diskusi bagi penelitian lanjutannya.