tata kelola haji
Diskusi Bulanan SEBI Islamic Business & Economics Research Centre (Siber-C) dengan tema: “Mengritik RUU Pengelolaan Keuangan Haji” di kampus STEI SEBI, Sawangan, Depok (8/9)

Tata Kelola Haji, Perlu SDM Keuangan dan Akuntansi

[sc name="adsensepostbottom"]

Untuk tata kelola haji yang lebih baik, siapapun pengelolanya nanti, sebaiknya mendayagunakan lebih banyak SDM keuangan dan akuntansi .

tata kelola haji
Diskusi Bulanan SEBI Islamic Business & Economics Research Centre (Siber-C) dengan tema: “Mengritik RUU Pengelolaan Keuangan Haji” di kampus STEI SEBI, Sawangan, Depok (8/9)

Musim haji sebentar lagi, kita pun biasa mendengar kabar buruknya penyelenggaraan haji dan isu bocornya dana ummat. Alhasil, Tata kelola haji dinilai tidak professional dan tanpa aturan main yang jelas. Oleh karena itu diperlukan tata kelola yang lebih baik, antara lain dengan menambah sumber daya manusia (SDM) dari bidang terkait, seperti manajemen dan akuntansi. Demikian salah satu hasil Diskusi Bulanan SEBI Islamic Business & Economics Research Centre (Siber-C) dengan tema: “Mengritik RUU Pengelolaan Keuangan Haji” di kampus STEI SEBI, Sawangan, Depok (8/9).

“Penyelenggaraan haji tidak dilakukan secara akuntabel dan transparan. Hal ini berujung kepada korupsi oknum penyelenggara dan dirugikannya peserta jamaah haji.”, kata M. Asmeldi Firman, Ak., CA., MM., BKP, Wakil Ketua STEI SEBI yang manjadi salah satu pemateri diskusi ini. Asmeldi memaparkan sejumlah temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendukung pernyataannya itu,  “Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) memiliki keterbatasan sumber daya manusia, hanya memiliki 246 dan hanya satu yang punya latarbelakang keuangan dan akuntansi”, kata Asmeldi.

Dari antara kejanggalan penyelenggaraan haji hasil temuan KPK itu adalah tidak memiliki standar biaya indirect cost dan honor, sehingga terdapat banyak pengeluaran yang mudah disalahgunakan dan menyimpang dari standar biaya menteri keuangan. Tidak jelasnya biaya operasional yang sehursnya disetor ke APBN. Inefiesensi biaya penerbangan karena tidak adanya lelang dan pembanding. Inefiesensi jumlah hari tinggal akibat tidak jelasnya perencanaan kebutuhan hari tingga, potensi kerugian biaya sewa pondokan, transportasi dan catering. Pencatatan keuangan tidak sesuai standar akuntansi. Penempatan dana dalam deposito dengan persyaratan tingkat bunga yang tidak sesuai best practices.

Hal yang tidak mengherankan, karena jika melihat regulasi penyelenggaraan haji, UU No.13 tahun 2008, di pasal 2 ddisebutkan bahwa wewenang Kementerian Agama (Kemenag) meliputi kebijakan dan pelaksanaan. Dirjen PHU yang kemudian secara praktik menjalankannya. Tapi tidak disebutkan adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara terbuka, akuntabel dan transparan kepada publik, khususnya mengenai pengelolaan keuangannya.

Tidak dipertanggungjawabkannya keuangan haji, menurut salah satu peserta diskusi, Efri Syamsul Bahri, SE., Ak., MSi, terjadi karena adit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru selesai pada Juni-Juli, padahal penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebelum bulan itu. “Sehingga ada pilihan tidak perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Karena jadwalnya tidak bisa”, kata Efri Syamsul Bahri, SE., Ak., MSi

Oleh karena itu, Asmeldi mengusulkan beberapa hal yang sebaiknya dimasukkan dalam RUU Haji terkait tata kelola haji. Secara jelas dinyatakan bahwa pengelolaan haji didasarkan oleh regulasi setingkat undang-undang. Di aspek kelembagaan, Asmeldi tidak sepakat dengan wacana pembentukan badan haji khusus. “Sebaiknya penyelenggaraan haji tetap di PHU tetapi pembiayaan dibentuk melalui badan khusus keuangan haji seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kalau memang RUU ini mengarah ke pembentukan bank haji, harus jelas genrenya dan tertama tujuannya, karena takut terjadi beda pendapat, ini untuk mengelola haji atau mencari keuntungan.  Untuk menjamin tata kelola keuangannya pun, sebaiknya mengacu pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pengelolaannya seoptimal mungkin secara syariah”, kata Asmeldi.

Dukungan kepada pengelolaan keuangan haji secara syariah datang dari pemateri lain, H. Ahmad Bisyri Syakur, Lc., MA. Ulama ini menilai, “Pelaksanaan ibadah haji terganggu kemabrurannya saat ternyata dana yang dikelola tidak sesuai dengan syariah, padahal jamaah telah berusaha mengumpulkan dana haji dari cara yang halal”.

Diskusi menghasilkan dua kesimpulan: (1) tata kelola haji amburadul keuangannya karena sangat minimnya SDM berlatar belakang keuangan dan akuntansi di PHU; (2)pengelolaan buruk karena SDM-nya kurang berkompeten dan harus dibenahi dari sekarang.

Jika menilik pada potensinya yang sangat besar, diprediksi akan mencapai Rp 100 triliun pada 2018, menjadikan penyelenggaraan dan pengelolaan keuangan haji ini sangat membutuhkan perhatian bersama. Inilah yang menjadi perhatian SIBER-C STEI SEBI menyelenggarakan diskusi bermodel Focus Group Discussion (FGD) ini.

Dr. Oni Sahroni, Kepala SIBER-C STEI SEBI menilai wacana pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) seperti Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang telah terbentuk, merupakan salah satu alternatif yang menjadi perhatian bersama agar lebih khusus pengelolaannya dan tidak tumpang tinding kewenangan dengan kementrian agama seperti yang terjadi selama ini.

“Oleh karena itu, para akademisi berperan untuk memberi telaah kritis dan saran strategis atas pengukuhan undang-undang tersebut. Agar kegiatan ibadah haji yang menjadi agenda besar umat Muslim Indonesia ini dapat diselenggarakan dengan tata kelola haji yang baik”, kata Dr. Oni.

Diskusi bulanan kali ini menghadirkan M. Doddy AB, SE., MSM dengan materi “Pengelolaan Operasional Haji”, M. Asmeldi Firman, Ak., CA., MM., BKP dengan materi “Governance dalam Pengelolaan Dana Haji”, dan H. Ahmad Bisyri Syakur, Lc., MA dengan materi “RUU Haji dalam Tinjauan Fiqh Ahkam, Maqosid Syariah dan Fiqh Muwazanah”.