Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai ada kecenderungan pemerintah dalam pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 3 Tahun 2014 untuk mengintervensi MUI.

UU ini juga menyebutkan bahwa penetapan standar halal bukan lagi dari MUI, melainkan oleh Badan Pemeriksaan Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang akan dibentuk DPR. Selain itu, MUI juga merasa isi UU ini mengintervensi MUI dikarenakan untuk Komisi Fatwa MUI harus ada keterlibatan instansi pemerintah dan ilmuwan. “MUI menilai UU ini sarat dengan intervensi,” kata Amidhan kepada MySharing, Rabu (12/11).
Amidhan menilai, ada kecenderungan pemerintah ingin mengintervensi wewenang ulama dengan cara mengambil alih hak sertifikasi halal yang selama ini menjadi kewenangan pemuka agama. Kalau pemerintah membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di luar MUI, artinya pemerintah ingin mengintervensi para ulama. Sebaiknya pemerintah hanya berperan setelah sertifikasi halal dilakukan MUI, yakni dengan melakukan sosialisasi.
Proses sertifikasi halal, tegasnya, tidak semata-mata dapat dilakukan secara ilmu pengetahuan, namun juga bersinggungan dengan agama. Sehingga kerjasama antara ulama dalam hal ini MUI dengan para auditor tetap tidak dapat dipisahkan. Selama 25 tahun proses sertifikasi halal yang dilakukan MUI berjalan baik. MUI telah memiliki auditor yakni LPPOM MUI, sebagai kepanjangan tangan dalam melakukan audit terhadap setiap produk yang akan disertifikasi halal.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, MUI sejak tahun 1989, telah membangun sistem dan proses sertifikasi halal yang diterima secara saintifik atau ilmiah maupun syar’iyah. MUI juga telah menjadi rujukan lembaga-lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI dalam melakukan proses sertifikasi halal ini meliputi penetapan standar, pemeriksaan (audit), penetapan fatwa dan penerbitan sertifikasi halal.
“Regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan Jaminan Produk Halal (JPH) yang sudah ada, terutama berkenaan dengan proses sertifikasi halal, dan fatwa halal oleh Komisi Fatwa MUI,” kata Amidhan.
Dalam proses sertifikasi halal oleh MUI, tegasnya, memang dikenakan biaya terhadap produk yang akan disertifikasi. Namun biaya tersebut merupakan sebuah kewajaran dan tidak berlebihan. Nilainya sangat kecil dibandingkan omzet yang diperoleh perusahaan. “Biaya sertifikasi tergantung dari produknya, tetapi biasanya untuk satu produk yang dikeluarkan perusahaan besar dikenakan biaya lima juta rupiah, sedangkan untuk UKM ada bantuan dari pemerintah,” kata Amidhan.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa sertifikasi yang dilakukan MUI sudah berjalan secara “online”, sehingga tidak menyulitkan para produsen. Dan secara umum proses sertifikasi oleh MUI berjalan sederhana, di mana pihak produsesn yang produknya ingin disertifikasi cukup mengisi formulir yang bisa diakses di dunia maya. Kemudian formulir permohonan tersebut dikirimkan kepada MUI.

