Potensi pariwisata Islami di Indonesia sangat menarik dan bisa menjadi alternatif selain pariwisata konvensional. Oleh karena itu, dituntut untuk lebih universal, inklusif, dan modern.

Pada 2013 potensi pariwisata Islami internasional mencapai US$ 137 miliar, dan akan terus dipacu menjadi US$ 181 miliar di 2018 mendatang.
Karena itu, Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Esthy Reko Astuti merasa optimis, potensi pariwisata Islami di Indonesia akan semakin berkembang bagus di tahun 2015 mendatang.
“Prospek pariwisata syariah dunia sangat besar. Indonesia jangan jadi penonton, tapi harus jadi pemain handal, karena Indonesia merupakan pasar pariwisata syariah. Pemerintah dan semua stakesholders pariwisata agar fokus dalam merancang produk dan daerah tujuan pariwisata syariah. ” demikian ujar Esthy Reko Astuti dalam seminar Indonesia Sharia Economic Outlook 2015 – Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Jakarta (27/11/2014).
Menurut Esthy, agar pariwisata Indonesia bisa berkembang pesat untuk ke depannya, maka adalah sebuah keniscayaan untuk melakukan perluasan pasar, dengan menyediakan layanan ‘pilihan’ di bidang pariwisata bagi konsumen berbasis nilai Islam yang makin berkembang.
“Perlunya dimensi baru dalam pariwisata. Dimensi ini berpegangan pada nilai-nilai yang secara umum diterima sebagai standar moralitas dan kesusilaan yang tinggi. Dimensi ini juga menghormati kepercayaan lokal dan tradisional setempat, serta peduli terhadap lingkungan. Hal ini mencerminkan pandangan baru tentang kehidupan dan masyarakat,” papar Esthy.
Universal, Inklusif, dan Modern
Karena itulah, lanjut Esthy, pariwisata Ilami di Indonesia haruslah universal, inklusif, dan modern. Esthy menambahkan, pihaknya dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi kreratif saat ini berkomitmen melaksanakan tiga pilar pengembangan pariwisata halal Indonesia, yaitu, penyiapan produk syariah, pengembangan SDM, serta melakukan promosi dan kerjasama.
Penyiapan produk syariah antara lain dilakukan dengan standarisasi bisnis wisata syariah, seperti standar hotel syariah, restoran halal, standar biro perjalanan wisata, dan standar spa. Selain itu, melakukan penerbitan sertifikasi bagi industrinya.
“Untuk pengembangan SDM dilakukan dengan cara melakukan sosilisasi dan pelatihan kepada para SDM pariwisata syariah ini,, serta juga pengembangan kurikulum pariwisata Islami bekerjasana dengan perguruan tinggi, asosiasi dan para pelaku industri pariwisata,” lanjut Esthy.
Sementara itu, untuk promosi dan kerjasama, Esthy mengakui, pihaknya banyak melakukan kerjasama dengan lembaga terkait, seperti misalnya, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), lalu kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia, kemudian bekerjasama dengan OKI (Organisasi Kerjasama Islam), serta dengan berpartisipasi pada event-event Internasional.
Menurut Eshty, Indonesia harus lebih serius dan lebih gencar dalam mengembangkan dan mempromosikan pasar wisata syariah ini. Karena jika tidak, maka mayoritas ummat Muslim di Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara non Muslim. Baca juga: Sambut Wisatawan Muslim, Jepang Kian Berbenah Diri.
“Kita jangan sampai ketinggalan. Justru kita harus yang menjadi pemain utama di pariwisata syariah ini. Sebab saat ini negara non Muslim sudah menjadikan negara muslim sebagai target pengembangan wisata syariah,” demikian Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Esthy Reko Astuti.

